KESEHATAN
TERNAK
“VAKSINASI
PADA TERNA RUMINANSIA”
OLEH:
Agis
Cahyono. W
L1A1
11 025
JURUSAN
PETERNAKAN
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2013
I. PENDAHULUAN
Vaksin ternak non unggas meliputi
vaksin ternak besar (sapi potong, sapi perah, kerbau, domba, kambing, dan babi)
dan vaksin untuk hewan kecil atau hewan kesayangan (anjing dan kucing).
Kebutuhan vaksin untuk ternak besar diprioritaskan untuk pengendalian penyakit
strategis seperti SE (septicemiaepizootica), antraks, brucellosis, dan
hogkholera (Akoso 2000). Kusumaningsih et al (2001) melaporkan
kebutuhan vaksin SE mencapai 7,50 juta dosis, vaksin antraks 9,40 juta dosis, vaksin brucellosis 3,70 juta
dosis, dan vaksin hog cholera untuk babi sekitar 3 juta dosis. Ketersediaan
vaksin SE sekitar 3,50 juta dosis, vaksin antraks 1,40 juta dosis, vaksin
brucellosis 198 ribu dosis, dan vaksin hog kholera 372 ribu dosis. Berdasarkan
data tersebut terdapat kekurangan vaksin untuk hewan besar dalam jumlah yang
cukup besar. Namun demikian mengingat sebagian besar peternakan ternak besar
ini merupakan peternakan rakyat sehingga program vaksinasi dan kebutuhan
vaksinnya masih disubsidi oleh pemerintah, bisnis vaksin untuk ternak besar
belum menarik minat pihak swasta. Selain itu multivalen dan vaksin E. coli polivalen
untuk babi dan sapi, serta vaksin enterotoksemia dan blackleg bivalen
untuk sapi, kerbau, domba, kambing, dan babi (Natalia 1996; Natalia et al.
1996; Supar et al. 1998, 1999). Ramdani et al.(1997) dan
Chancellor et al. (1999) juga telah menghasilkan vaksin SE bivalen dan
polivalen dari isolat lokal terpilih yang dapat melindungi sapi dan kerbau
secara lebih baik dibanding vaksin yang biasa dipergunakan.
Penyakit Anthrax merupakan salah satu penyakit yang
fatal dan bersifat zoonosis yaitu dapat menular ke manusia yang disebabkan oleh
Bacillus anthracis. Seluruh mamalia dapat terserang penyakit ini dengan
beberapa tingkatan, tetapi ruminansia seperti sapi, kambing dan domba adalah
hewan yang sangat rentan/mudah terserang baru diikuti kuda dan babi (ANON,
2000; ANON, 2001a). Selain itu juga menyerang berbagai jenis hewan liar,
kelinci, marmot tetapi tidak menyerang hewan berdarah dingin maupun unggas
kecuali burung unta (ANON, 2001a; ANON, 2004c; ANON, 2004a; ANON, 2001b).
Anthrax disebut juga Radang Lympha, Malignant Pustule, Malignant
edema, Woolsorter disease, Rag pickers disease, Charbon. Kata
Anthrax dalam bahasa Inggris berarti batu bara, dalam bahasa Perancis disebut
sebagai Charbon dan dalam bahasa Yunani berarti batu bara. Kata tersebut
digunakan sebagai nama penyakit pada manusia yang ciri utamanya yaitu adanya
luka yang rasanya pedih, ditengahnya berwarna hitam seperti batu bara
(CHRISTIE, 1983). Pada manusia dikenal sebagai Malignant pustule (MARC,
1752; FOURNIER, 1769). Penyakit ini bersifat zoonosis sehingga dapat menular
kepada manusia dan menimbulkan kematian.
II. PEMBAHASAN
Kejadian antraks di Indonesia pertama kali
dilaporkan pada tahun 1884 di Teluk Betung Lampung. Kasus antraks di Provinsi
Nusa Tenggara Barat (NTB) terjadi pada tahun 1975 (Ditjennak 2001). Pulau
Sumbawa adalah satu dari dua pulau utama di Provinsi NTB yang memiliki potensi
peternakan yang cukup besar. Sistem peternakan umumnya dengan melepas ternaknya
di lading pengembalaan. Potensi padang pengembalaan ternak di P. Sumbawa
tersebar di hampir semua kecamatan dengan luas 68.544,65 hektar (ha) terdiri
dari potensi riil seluas 59.957,45 ha dan rencana perluasan 8.587,20 ha serta
potensi kebun untuk penanaman hijauan makanan ternak (HMT) seluas 17.813,25 ha.
Tantangan
dalam peningkatan produksi peternakan di Pulau Sumbawa salah satunya adalah
adanya kejadian antraks hampir selalu terjadi setiap tahunnya. Jika padang
pengembalaan atau lingkungan budidaya ternak yang tercemar spora Bacillus
anthracis dan tidak ditangani secara baik akan mengakibatkan penyakit
bersifat endemik pada wilayah tersebut (Ditjennak 2001). Daerah yang sudah
terjangkit antraks maka akan sulit untuk dibebaskan. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan
akibat penyakit antraks cukup tinggi walaupun angka yang pasti belum diketahui.
Kerugian meliputi biaya vaksinasi, biaya pengobatan apabila terjadi kasus
penyakit, kematian ternak, penurunan produktivitas (tenaga kerja, daging dan
susu), penurunan reproduksi dan kerugian lain adalah rasa cemas di masyarakat
karena penyakit antraks bersifat zoonosis.
Menurut data Disnak Prov. NTB (2008), realisasi
vaksinasi, populasi ternak (sapi dan kerbau) dan kematian ternak di P. Sumbawa
antara tahun 2005-2007 sebagai berikut : tahun 2005 realisasi vaksinasi 146.786
dosis, populasi ternak 336.328 dan kematian ternak 14 ekor; tahun 2006
realisasi vaksinasi 278.4522 dosis, populasi ternak 355.270 dan kematian ternak
28 ekor; dan tahun 2007 realisasi vaksinasi 298.375 dosis, populasi ternak
377.662 dan kematian ternak 12 ekor. Vaksinasi tersebut masing-masing hanya
mencakup 22%, 39% dan 39% dari populasi ternak sapi dan kerbau. Vaksinasi pada
kambing cakupannya sangat rendah dikarenakan pada kambing masih terjadi
anafilaktik shock setelah vaksinasi.
Vaksinasi
Anthrax
Vaksinasi merupakan salah satu cara yang dipergunakan
untuk pencegahan penyakit Anthrax. Vaksin pertama kali dibuat oleh PASTEUR
(1879). Pasteur menemukan bahwa inkubasi bakteri pada suhu 420C akan menyebabkan
penurunan sifat virulensi bakteri ini. Vaksin ini tidak digunakan lagi setelah ditemukan
vaksin spora (“spore live vaccine”) oleh karena dapat disimpan lebih
lama. Vaksin spora ini berasal dari varian yang tidak berkapsel dan tidak
virulen (LAY, 1988). Penambahan saponin dalam vaksin akan menghambat penyebaran
yang cepat dari sporake dalam jaringan sehingga akan dihasilkan efek adjuvan
(vaksin carbozoo).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
vaksinasi Anthrax antara lain penyimpanan vaksin tidak boleh di frezzer tetapi
di refrigeratornya . Hewan-hewan yang sedang dalam pengobatan
antibiotika tidak diijinkan untuk divaksin Anthrax misalnya sapi perah dalam
pengobatan karena mastitis. Hewan yang akan dipotong dalam waktu minimal 6
minggu sebelumnya tidak boleh divaksin (ANON, 2002a). Hasil vaksinasi Anthrax pada sapi di wilayah
Semarang dan Boyolali pada tahun 1990 menunjukkan hasilyang bagus yaitu terjadi
penurunan kematiansapi secara signifikan. Hasil vaksinasi pada sapi-sapi
tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar
1.
Hasil vaksinasi anthrax pada sapi perah di Semarang dan Boyolali tahun 1990.
Vaksinasi pada sapi perah di Kabupaten Semarang dan
Boyolali pada tahun 1990 menggunakan vaksin Anthrax produksi Pusat Veterina Farma
Surabaya. Pemberian secara subkutan dengan dosis pemberian 1 ml. Pada saat itu
sapi yang akan divaksin dikelompokkan menjadi
tiga kelompok yaitu: kelompok yang
benar-benar sehat dan siap divaksin, kelompok yang sakit/tidak sehat diberi pengobatan dahulu dan kelompok ketiga adalah kelompok tidak divaksin yaitu pedet dan sapi
bunting. Kematian sangat tinggi mencapai 494 ekor sapi yang menunjukkan sakit
dan 209 ekor sapi mati secara mendadak pada
bulan Mei 1990.Kematian menurun satu
bulan berikutnya pada bulan Juni setelah dilakukan vaksinasi yaitu 238 ekor
karena sakit dan 70 ekor mati mendadak, dan turun drastis pada bulan agustus
1990 hanya 8 ekor mati karena sakitdan 2 ekor mati mendadak (ANON, 1990). Vaksinasi
pada kambing dan domba diwilayah Sleman Yogyakarta yang dilakukan pada bulan
Oktober 2004 menggunakan vaksin produksi Pusat Veterina Farma Surabaya, secara
subkutan dan menggunakan dosis ½ ml.
Hasil vaksinasi Anthrax pada kambing dan domba pada
tahun 2004 di wilayah Yogyakarta, dari kurang lebih 800 ekor yang divaksin
terjadi kematian setelah vaksinasi kurang lebih 54 ekor atau sekitar 6,7%. Sementara
hasil vaksinasi pada kambing dan domba di wilayah Bogor dalam waktu yang hampir
bersamaan dari laporan tidak ditemukan
kematian, meski ada beberapa ekor yang mengalami
sakit setelah vaksinasi tersebut. Dari hasil ini tampak berbeda sekali hasil
atau pun dampak dari vaksinasi anthrax antara sapi dan kambing/domba. Dari
hasil pantauan di lapangan banyak kambing dan domba setelah divaksin Anthrax
sebelum mati menunjukkan gejala–gejala
antara lain kebengkakan di dekat rectum dan dibawah ekor. Menurut ANON 2002, kambing/domba
memang lebih mudah/cenderung
menampakkan reaksi terhadap vaksin Anthrax (post-vaccinal reaction).
Untuk menyikapi hal itu beberapa perusahaan
menyarankan pemberian vaksin Anthrax pada kambing/domba dibagi menjadi dua kali
pemberian. Pemberian pertama sebanyak seperempat dosis dari standar yang
direkomendasikan (1 dosis = ½ ml) sebagai“pre-inoculation dose” dan
pemberian ke dua dengan selang waktu 1 bulan sebanyak 1 dosis yang dianjurkan.
Vaksinasi pada kambing/domba ini disuntikkan secara subkutan disebalik ekor
pada tempat yang kering dan bersih. Menyimak
kejadian kematian kambing/domba setelah vaksinasi Anthrax ini, perlu
kiranya untuk lebih berhati-hati dalam
pelaksanaan vaksinasi anthrax
terhadap hewan-hewan tersebut.
I.
PENUTUP
Kesimpulan
Vaksinasi merupakan
salah satu cara yang dipergunakan untuk pencegahan penyakit Anthrax. Vaksin pertama kali dibuat oleh PASTEUR
(1879). Pasteur menemukan bahwa inkubasi bakteri pada suhu 420C akan
menyebabkan penurunan sifat virulensi bakteri ini.
Ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam vaksinasi Anthrax antara lain penyimpanan vaksin tidak
boleh di frezzer tetapi di refrigeratornya . Hewan-hewan yang
sedang dalam pengobatan antibiotika tidak diijinkan untuk divaksin Anthrax
misalnya sapi perah dalam pengobatan karena mastitis. Hewan yang akan dipotong
dalam waktu minimal 6 minggu sebelumnya tidak boleh divaksin.
Saran
Saran yang dapat saya sampaikan adalah kiranya para peternak lebih
memperhatikan kesehatan ternak mereka, ketika ada ternak yang sakit dapat
langsung diobati/vaksin agar mengurangi resiko kematian pada ternak.
DAFTAR PUSTAKA
ANONNIM.
2004a. Humidity Test May Unmask Anthrax Spores. http://www.meridianhealth.com/index.cfm/MediaRelations?News?BreakingNews/anthrax.html
ANONNIM.
2004b. Anthrax Toxin: Deadly Triumvirate of anthrax. Applied Science and Analysis,
Inc. THE ASA Neewslatter.http://www.asanltr.com/newsletter/03-3/articles/Anthrax.html.
ANONNIM.
2004c. Anthrax. Media centre. World Health Organization. http://www.who.int/ mediacentre/factsheets/fs264/en/.
ANONNIM.
2004d. Guidelines for the Surveillance and Control of Anthrax in Humans and Animals.
WHO/EMC/ZDI/98.6
ANONNIM.
2004e. Anthrax – Biological Agent. http://www.arches.uga.edu/-fl50ga/Patho.html
ANONNIM.
2002a. Pedoman dan Protap Penatalaksanaan Kasus Anthraks di Indonesia.
ANONNIM.
2001a. Anthrax. APHIS Veterinary Services. November 2001.
ANONNIM.
2001b. Anthrax Disease Information. http://www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/ anthrax-g.htm.
ANONNIM.
2001c. Fact Sheet Anthrax. Labor SPIEZ.
ANONNIM.
2000. Anthrax Vaccine. U.S. Departement of Health and Human Services. Centers
for Diseases Control and Prevention National Immunization Program.
ANONNIM.
1990. Proceeding Seminar. Rabies, Zoonosa, dan Anthrax. Kerjasama Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro dan Perhimpunan dokter Hewan Indonesia.
BISPING,
W and G. AMTSBERG. 1988. Colour Atlas for the Diagnosis of Bacterial Pathogens
in Animals. Paul Parery Scientific Publishers.
Berlin
and Hamburg. P 72-78 CHRISTIE, A.B. 1980. Infectious Diseases: Epidemiology and
Clinical Practice. Third Edition, Churchill Livingstone, Eidenburg, London,
Melbourne and New York.
DRAGON,
D.C., and RENNIE, R.P. 1995. The Ecology of Anthrax spores: tough but not invincible.
Can Vet 36, 295-301.
GEISSLER
E. 1998a: Conversion of former BTW facilities, lessons from German history. IN:
GEISSLER E (Eds.): Conversion of former BTW facilities. Kluwer Academic
Publisher, Dordrecht, pp. 53-66.
GEISSLER
E 1998b: Hitler und die Biowaffen. LIT, Munster, pp. 298 GYLES, C.L and C.O. THOEN.
1993. Pathogenesis of Bacterial Infections in Animals. J.W.
EZZELS,
JR and C.L. WILHELMSEN. Bacillus anthracis. Second editian. Iowa State
University Press. P 36-41.
HELGASON,
E., OKSTAD, O.A., CAUGANT D.A., JOHANSEN H.A., FOUET, A., MOCK, M., HEGNA, and
I., KOLSTO, A.B. 2000. Bacillus anthracis, Bacillus cereus and
Bacillus thuringensis- one species on the basis of genetic
evidence. Appl Environ Microbiol 66, 2627-2630.