WELCOME TO MY BLOG
| | | | |
TEGAKKAN SYARI'AH DAN KHILAFAH ISLAMIYAH

Senin, 30 September 2013

Vaksinasi Ternak Ruminansia

KESEHATAN TERNAK
“VAKSINASI PADA TERNA RUMINANSIA”

OLEH:

Agis Cahyono. W

L1A1 11 025


JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2013
  




I.      PENDAHULUAN
Vaksin ternak non unggas meliputi vaksin ternak besar (sapi potong, sapi perah, kerbau, domba, kambing, dan babi) dan vaksin untuk hewan kecil atau hewan kesayangan (anjing dan kucing). Kebutuhan vaksin untuk ternak besar diprioritaskan untuk pengendalian penyakit strategis seperti SE (septicemiaepizootica), antraks, brucellosis, dan hogkholera (Akoso 2000). Kusumaningsih et al (2001) melaporkan kebutuhan vaksin SE mencapai 7,50 juta dosis, vaksin antraks 9,40  juta dosis, vaksin brucellosis 3,70 juta dosis, dan vaksin hog cholera untuk babi sekitar 3 juta dosis. Ketersediaan vaksin SE sekitar 3,50 juta dosis, vaksin antraks 1,40 juta dosis, vaksin brucellosis 198 ribu dosis, dan vaksin hog kholera 372 ribu dosis. Berdasarkan data tersebut terdapat kekurangan vaksin untuk hewan besar dalam jumlah yang cukup besar. Namun demikian mengingat sebagian besar peternakan ternak besar ini merupakan peternakan rakyat sehingga program vaksinasi dan kebutuhan vaksinnya masih disubsidi oleh pemerintah, bisnis vaksin untuk ternak besar belum menarik minat pihak swasta. Selain itu multivalen dan vaksin E. coli polivalen untuk babi dan sapi, serta vaksin enterotoksemia dan blackleg bivalen untuk sapi, kerbau, domba, kambing, dan babi (Natalia 1996; Natalia et al. 1996; Supar et al. 1998, 1999). Ramdani et al.(1997) dan Chancellor et al. (1999) juga telah menghasilkan vaksin SE bivalen dan polivalen dari isolat lokal terpilih yang dapat melindungi sapi dan kerbau secara lebih baik dibanding vaksin yang biasa dipergunakan.
Penyakit Anthrax merupakan salah satu penyakit yang fatal dan bersifat zoonosis yaitu dapat menular ke manusia yang disebabkan oleh Bacillus anthracis. Seluruh mamalia dapat terserang penyakit ini dengan beberapa tingkatan, tetapi ruminansia seperti sapi, kambing dan domba adalah hewan yang sangat rentan/mudah terserang baru diikuti kuda dan babi (ANON, 2000; ANON, 2001a). Selain itu juga menyerang berbagai jenis hewan liar, kelinci, marmot tetapi tidak menyerang hewan berdarah dingin maupun unggas kecuali burung unta (ANON, 2001a; ANON, 2004c; ANON, 2004a; ANON, 2001b). Anthrax disebut juga Radang Lympha, Malignant Pustule, Malignant edema, Woolsorter disease, Rag pickers disease, Charbon. Kata Anthrax dalam bahasa Inggris berarti batu bara, dalam bahasa Perancis disebut sebagai Charbon dan dalam bahasa Yunani berarti batu bara. Kata tersebut digunakan sebagai nama penyakit pada manusia yang ciri utamanya yaitu adanya luka yang rasanya pedih, ditengahnya berwarna hitam seperti batu bara (CHRISTIE, 1983). Pada manusia dikenal sebagai Malignant pustule (MARC, 1752; FOURNIER, 1769). Penyakit ini bersifat zoonosis sehingga dapat menular kepada manusia dan menimbulkan kematian.


II.   PEMBAHASAN
Kejadian antraks di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1884 di Teluk Betung Lampung. Kasus antraks di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terjadi pada tahun 1975 (Ditjennak 2001). Pulau Sumbawa adalah satu dari dua pulau utama di Provinsi NTB yang memiliki potensi peternakan yang cukup besar. Sistem peternakan umumnya dengan melepas ternaknya di lading pengembalaan. Potensi padang pengembalaan ternak di P. Sumbawa tersebar di hampir semua kecamatan dengan luas 68.544,65 hektar (ha) terdiri dari potensi riil seluas 59.957,45 ha dan rencana perluasan 8.587,20 ha serta potensi kebun untuk penanaman hijauan makanan ternak (HMT) seluas 17.813,25 ha.
 Tantangan dalam peningkatan produksi peternakan di Pulau Sumbawa salah satunya adalah adanya kejadian antraks hampir selalu terjadi setiap tahunnya. Jika padang pengembalaan atau lingkungan budidaya ternak yang tercemar spora Bacillus anthracis dan tidak ditangani secara baik akan mengakibatkan penyakit bersifat endemik pada wilayah tersebut (Ditjennak 2001). Daerah yang sudah terjangkit antraks maka akan sulit untuk dibebaskan. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat penyakit antraks cukup tinggi walaupun angka yang pasti belum diketahui. Kerugian meliputi biaya vaksinasi, biaya pengobatan apabila terjadi kasus penyakit, kematian ternak, penurunan produktivitas (tenaga kerja, daging dan susu), penurunan reproduksi dan kerugian lain adalah rasa cemas di masyarakat karena penyakit antraks bersifat zoonosis.
Menurut data Disnak Prov. NTB (2008), realisasi vaksinasi, populasi ternak (sapi dan kerbau) dan kematian ternak di P. Sumbawa antara tahun 2005-2007 sebagai berikut : tahun 2005 realisasi vaksinasi 146.786 dosis, populasi ternak 336.328 dan kematian ternak 14 ekor; tahun 2006 realisasi vaksinasi 278.4522 dosis, populasi ternak 355.270 dan kematian ternak 28 ekor; dan tahun 2007 realisasi vaksinasi 298.375 dosis, populasi ternak 377.662 dan kematian ternak 12 ekor. Vaksinasi tersebut masing-masing hanya mencakup 22%, 39% dan 39% dari populasi ternak sapi dan kerbau. Vaksinasi pada kambing cakupannya sangat rendah dikarenakan pada kambing masih terjadi anafilaktik shock setelah vaksinasi.

Vaksinasi Anthrax
Vaksinasi merupakan salah satu cara yang dipergunakan untuk pencegahan penyakit Anthrax. Vaksin pertama kali dibuat oleh PASTEUR (1879). Pasteur menemukan bahwa inkubasi bakteri pada suhu 420C akan menyebabkan penurunan sifat virulensi bakteri ini. Vaksin ini tidak digunakan lagi setelah ditemukan vaksin spora (“spore live vaccine”) oleh karena dapat disimpan lebih lama. Vaksin spora ini berasal dari varian yang tidak berkapsel dan tidak virulen (LAY, 1988). Penambahan saponin dalam vaksin akan menghambat penyebaran yang cepat dari sporake dalam jaringan sehingga akan dihasilkan efek adjuvan (vaksin carbozoo).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam vaksinasi Anthrax antara lain penyimpanan vaksin tidak boleh di frezzer tetapi di refrigeratornya . Hewan-hewan yang sedang dalam pengobatan antibiotika tidak diijinkan untuk divaksin Anthrax misalnya sapi perah dalam pengobatan karena mastitis. Hewan yang akan dipotong dalam waktu minimal 6 minggu sebelumnya tidak boleh divaksin (ANON, 2002a). Hasil  vaksinasi Anthrax pada sapi di wilayah Semarang dan Boyolali pada tahun 1990 menunjukkan hasilyang bagus yaitu terjadi penurunan kematiansapi secara signifikan. Hasil vaksinasi pada sapi-sapi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Hasil vaksinasi anthrax pada sapi perah di Semarang dan Boyolali tahun 1990.



 


Vaksinasi pada sapi perah di Kabupaten Semarang dan Boyolali pada tahun 1990 menggunakan vaksin Anthrax produksi Pusat Veterina Farma Surabaya. Pemberian secara subkutan dengan dosis pemberian 1 ml. Pada saat itu sapi yang akan divaksin dikelompokkan  menjadi tiga kelompok  yaitu: kelompok yang benar-benar sehat dan siap divaksin, kelompok yang sakit/tidak sehat diberi  pengobatan dahulu dan kelompok ketiga adalah  kelompok tidak divaksin yaitu pedet dan sapi bunting. Kematian sangat tinggi mencapai 494 ekor sapi yang menunjukkan sakit dan 209 ekor sapi mati secara mendadak  pada bulan Mei 1990.Kematian  menurun satu bulan berikutnya pada bulan Juni setelah dilakukan vaksinasi yaitu 238 ekor karena sakit dan 70 ekor mati mendadak, dan turun drastis pada bulan agustus 1990 hanya 8 ekor mati karena sakitdan 2 ekor mati mendadak (ANON, 1990). Vaksinasi pada kambing dan domba diwilayah Sleman Yogyakarta yang dilakukan pada bulan Oktober 2004 menggunakan vaksin produksi Pusat Veterina Farma Surabaya, secara subkutan dan menggunakan dosis ½ ml.
Hasil vaksinasi Anthrax pada kambing dan domba pada tahun 2004 di wilayah Yogyakarta, dari kurang lebih 800 ekor yang divaksin terjadi kematian setelah vaksinasi kurang  lebih 54 ekor atau sekitar 6,7%. Sementara hasil vaksinasi pada kambing dan domba di wilayah Bogor dalam waktu yang hampir bersamaan dari laporan  tidak ditemukan kematian, meski ada beberapa ekor yang  mengalami sakit setelah vaksinasi tersebut. Dari hasil ini tampak berbeda sekali hasil atau pun dampak dari vaksinasi anthrax antara sapi dan kambing/domba. Dari hasil pantauan di lapangan banyak kambing dan domba setelah divaksin Anthrax sebelum  mati menunjukkan gejala–gejala antara lain kebengkakan di dekat rectum dan dibawah ekor. Menurut ANON 2002,  kambing/domba  memang  lebih mudah/cenderung menampakkan reaksi terhadap vaksin Anthrax (post-vaccinal reaction).
Untuk menyikapi hal itu beberapa perusahaan menyarankan pemberian vaksin Anthrax pada kambing/domba dibagi menjadi dua kali pemberian. Pemberian pertama sebanyak seperempat dosis dari standar yang direkomendasikan (1 dosis = ½ ml) sebagai“pre-inoculation dose” dan pemberian ke dua dengan selang waktu 1 bulan sebanyak 1 dosis yang dianjurkan. Vaksinasi pada kambing/domba ini disuntikkan secara subkutan disebalik ekor pada tempat yang kering dan bersih. Menyimak  kejadian kematian kambing/domba setelah vaksinasi Anthrax ini, perlu kiranya untuk lebih berhati-hati dalam  pelaksanaan  vaksinasi anthrax terhadap hewan-hewan tersebut.



I.            PENUTUP
Kesimpulan
Vaksinasi merupakan salah satu cara yang dipergunakan untuk pencegahan penyakit Anthrax.  Vaksin pertama kali dibuat oleh PASTEUR (1879). Pasteur menemukan bahwa inkubasi bakteri pada suhu 420C akan menyebabkan penurunan sifat virulensi bakteri ini.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam vaksinasi Anthrax antara lain penyimpanan vaksin tidak boleh di frezzer tetapi di refrigeratornya . Hewan-hewan yang sedang dalam pengobatan antibiotika tidak diijinkan untuk divaksin Anthrax misalnya sapi perah dalam pengobatan karena mastitis. Hewan yang akan dipotong dalam waktu minimal 6 minggu sebelumnya tidak boleh divaksin.

Saran
Saran yang dapat saya sampaikan adalah kiranya para peternak lebih memperhatikan kesehatan ternak mereka, ketika ada ternak yang sakit dapat langsung diobati/vaksin agar mengurangi resiko kematian pada ternak.



DAFTAR PUSTAKA
ANONNIM. 2004a. Humidity Test May Unmask Anthrax Spores. http://www.meridianhealth.com/index.cfm/MediaRelations?News?BreakingNews/anthrax.html
ANONNIM. 2004b. Anthrax Toxin: Deadly Triumvirate of anthrax. Applied Science and Analysis, Inc. THE ASA Neewslatter.http://www.asanltr.com/newsletter/03-3/articles/Anthrax.html.
ANONNIM. 2004c. Anthrax. Media centre. World Health Organization. http://www.who.int/ mediacentre/factsheets/fs264/en/.
ANONNIM. 2004d. Guidelines for the Surveillance and Control of Anthrax in Humans and Animals. WHO/EMC/ZDI/98.6
ANONNIM. 2004e. Anthrax – Biological Agent. http://www.arches.uga.edu/-fl50ga/Patho.html
ANONNIM. 2002a. Pedoman dan Protap Penatalaksanaan Kasus Anthraks di Indonesia.
ANONNIM. 2001a. Anthrax. APHIS Veterinary Services. November 2001.
ANONNIM. 2001b. Anthrax Disease Information. http://www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/ anthrax-g.htm.
ANONNIM. 2001c. Fact Sheet Anthrax. Labor SPIEZ.
ANONNIM. 2000. Anthrax Vaccine. U.S. Departement of Health and Human Services. Centers for Diseases Control and Prevention National Immunization Program.
ANONNIM. 1990. Proceeding Seminar. Rabies, Zoonosa, dan Anthrax. Kerjasama Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro dan Perhimpunan dokter Hewan Indonesia.
BISPING, W and G. AMTSBERG. 1988. Colour Atlas for the Diagnosis of Bacterial Pathogens in Animals. Paul Parery Scientific Publishers.
Berlin and Hamburg. P 72-78 CHRISTIE, A.B. 1980. Infectious Diseases: Epidemiology and Clinical Practice. Third Edition, Churchill Livingstone, Eidenburg, London, Melbourne and New York.
DRAGON, D.C., and RENNIE, R.P. 1995. The Ecology of Anthrax spores: tough but not invincible. Can Vet 36, 295-301.
GEISSLER E. 1998a: Conversion of former BTW facilities, lessons from German history. IN: GEISSLER E (Eds.): Conversion of former BTW facilities. Kluwer Academic Publisher, Dordrecht, pp. 53-66.
GEISSLER E 1998b: Hitler und die Biowaffen. LIT, Munster, pp. 298 GYLES, C.L and C.O. THOEN. 1993. Pathogenesis of Bacterial Infections in Animals. J.W.
EZZELS, JR and C.L. WILHELMSEN. Bacillus anthracis. Second editian. Iowa State University Press. P 36-41.
HELGASON, E., OKSTAD, O.A., CAUGANT D.A., JOHANSEN H.A., FOUET, A., MOCK, M., HEGNA, and I., KOLSTO, A.B. 2000. Bacillus anthracis, Bacillus cereus and Bacillus thuringensis- one species on the basis of genetic evidence. Appl Environ Microbiol 66, 2627-2630.

Batman Begins - Diagonal Resize 2

iklan


animasi bergerak naruto dan onepiece