WELCOME TO MY BLOG
| | | | |
TEGAKKAN SYARI'AH DAN KHILAFAH ISLAMIYAH

Minggu, 01 Juni 2014

3 Macam Sikap Umat Terhadap Demokrasi



Setidaknya ada 3 sikap umat islam terkait dengan ide Demokrasi, yaitu sebagai berikut :

Type-1 : Mengekornya
Type ini sangat yakin, bangga dan pede bahwa demokrasi adalah sistem terbaik. Bahkan, walaupun mereka muslim, mereka lebih yakin kehebatan demokrasi dibandingkan islam itu sendiri.
“Apakah hukum jahiliyyah yg mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yg lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”[TQS Al Maidah : 50].
“Kamu pasti akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kamu (yahudi dan nasrani) sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sampai salah seorang dari mereka masuk lubang biawak pun kamu pasti akan mengikutinya.”[HR Hakim].

Type-2 : Memanfaatkannya
Type ini menafsirkan demokrasi hanya sekedar cara atau alat perjuangan saja untuk (katanya) kemenangan islam. Agenda islam di hidden, sambil berharap bisa mewarnai dan merubah keadaan dari dalam sistem demokrasi itu sendiri.
“… Bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah tidak dipercayai, dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, hingga mereka masuk kepada pembicaraan lain; sebab (jika kalian melakukan sepertr itu) maka kamu seperti mereka…”[TQS An-Nisaa : 140].
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.”[TQS Al An'am : 116].
“Janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu sedangkan kamu mengetahui.”[TQS Al Baqarah : 42].

Type-3 : Menolaknya
Type ini sangat tegas menolak dan mengharamkan sistem demokrasi dari berbagai tinjauan, termasuk dari pilar-pilar demokrasi itu sendiri seperti konsep kedaulatan di tangan rakyat.
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah..”[TQS Al An'am : 57].
“Hai orang-orang yg beriman, masuklah kamu kepada Islam secara keseluruhan..”
[TQS Al Baqarah : 208].

Jadi, Terkait ide demokrasi, anda masuk type yang mana ???

Wajah Buruk Demokrasi



Indonesia termasuk negara paling demokratis. Demikianlah pengakuan masyarakat dunia. Pasalnya, Indonesia telah berhasil mengembangkan dan mempraktikkan demokrasi yang ditandai dengan suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2004 yang mengantarkan SBY—dari parpol yang baru terbentuk—menjadi presiden. Demikian tegas Ketua Komite Konferensi Dunia IAPC ke-40, Pri Sulisto, di Nusa Dua, Bali (Republika, 12/11/07).
Indonesia akhirnya meraih “Medali Demokrasi”. Medali tersebut diberikan oleh IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik)—sebuah organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi di seluruh dunia—karena Indonesia merupakan negara pertama berpenduduk mayoritas Muslim yang dinilai melakukan proses demokrasi dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, Co Chairman Komite Konferensi IAPC, ke-40, Robert Murdoch, menambahkan, selain sebagai penghargaan, dipilihnya Indonesia menjadi tempat pertemuan juga merupakan perwujudan perjuangan IAPC untuk mempromosikan demokrasi di seluruh dunia. (web.bisnis.com, 13/11/07)
Pertanyaannya, apakah demokrasi berkolerasi dengan kesejahteraan masyarakat? Apakah dengan demokrasi seluruh kebutuhan masyarakat—seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan—tercukupi dengan baik? Faktanya, di Indonesia banyak rakyat miskin tanpa rumah dengan malnutrisi, tidak mempunyai harapan hidup layak karena tidak adanya jaminan kesehatan, biaya pengobatan yang melabung tinggi, rasa aman yang mahal dan yang lainnya.

Salah Paham Tentang Demokrasi
Banyak kalangan salah paham terhadap demokrasi. Banyak orang hanya memahami demokrasi sebagai perwujudan partisipasi rakyat dalam Pemilu yang transparan dan akuntabel, ditambah dengan aktivitas musyawarah para wakil rakyat dalam mengambil keputusan; tak peduli apakah keputusan hasil musyawarah untuk dijadikan aturan itu bertentangan dengan hukum Islam ataukah tidak. Dengan demikian, orang/lembaga/negara dikatakan demokratis jika mendengarkan pendapat orang lain melalui musyawarah sebelum mengambil keputusan. Inilah sebenarnya yang disebut dengan ‘demokrasi prosedural.’
Walhasil, mudah dimengerti jika Pemilu yang demokratis tidak bisa dijadikan ukuran suksesnya sebuah negara. Apalagi jika dikaitkan dengan persoalan kemakmuran warga negaranya. Padahal, katanya, dengan demokrasi diharapkan negara bisa mencapai kemakmuran. Kementerian Perumahan Rakyat mencatat, pada awal Oktober 2007 terdapat sekitar 9,5 juta keluarga di Indonesia yang belum mempunyai rumah. (Jawa Pos, 30/10/07). Akhir-akhir ini pembangunan ekonomi di Indonesia juga telah menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Ekonomi saat ini memunculkan jurang pemisah yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Jurang pemisah ini jelas akan menimbulkan serentetan akibat buruk bagi peri kehidupan di masyarakat. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui bahwa kesenjangan sosial yang terlalu besar pada bangsa ini bisa memicu siklus kekerasan yang selalu terjadi setiap 5 tahun terakhir. (Antara News, 23/10/07).

Hakikat Sistem Demokrasi
Sistem demokrasi di negara manapun selalu mencerminkan paling tidak dua hal: (1) Kedaulatan rakyat; (2) Jaminan atas kebebasan umum.

Kedaulatan rakyat.
Demokrasi identik dengan jargon “dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat”; dengan kata lain, kedaulatan ada di tangan rakyat. Benarkah secara faktual dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat?
Anggapan yang menyatakan kedaulatan ada di tangan rakyat jelas keliru. Faktanya, di Indonesia sendiri, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa dan pengusaha. Bahkan kebijakan dan keputusan Pemerintah sering dipengaruhi oleh kepentingan para pemilik modal, baik lokal maupaun asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang merupakan produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden—yang katanya perpanjangan dari kepentingan rakyat karena dipilih langsung oleh rakyat—sering bertabrakan dengan kemauan rakyat. Betapa sering kebijakan Pemerintah yang diamini para wakil rakyat justru didemo oleh rakyat sendiri.
Pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Cilfrede Pareto dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya yang berkuasa adalah sekelompok kecil orang atas kelompok besar. Khusus kasus di Indonesia, kelompok mayoritas adalah Muslim, tetapi kenyataanya yang senantiasa diuntungkan adalah kelompok non-Muslim karena kekuasaan atau modal dimiliki oleh kelompok minoritas non-Muslim. Hal senada juga dinyatakan oleh Benjamin Constan. Ia menyatakan bahwa demokrasi membawa masyarakat menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.
Jelas, ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang hanya mengakui kedaulatan hukum syariah (Hukum Allah). Dalam demokrasi, rakyat (manusia) diberi kewenangan penuh untuk membuat hukum, termasuk membuat hukum yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah (syariah). Inilah yang terjadi di negara-negara yang menerapkan demokrasi, termasuk Indonesia. Padahal dalam Islam, hanya Allah yang berhak menetapkan hukum. Allah Swt. berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (QS an-An‘am [6]: 57).

Jaminan atas kebebasan umum.
Pertama: kebebasan beragama. Dalam demokrasi, seseorang berhak meyakini suatu agama/keyakinan yang dikehendakinya tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula meninggalkan agama dan keyakinannya, lalu berpindah pada agama atau keyakinan baru. Seseorang juga berhak untuk tidak beragama atau membuat ‘agama baru’.
Jelas ini bertentangan dengan Islam. Memang, dalam Islam tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Ini diserahkan sepenuhnya kepada individu masing-masing (lihat: QS). Namun, tatkala seseorang telah memeluk agama Islam, dia berkewajiban untuk tunduk dan patuh pada syariah atau aturan-aturan Allah, termasuk di dalamnya keharaman untuk keluar dari agama Islam atau murtad. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Siapa saja yang menukar agamanya (murtad) maka bunuhlah. (HR).
Islam sangat menjaga kesucian agama. Tidak bisa dengan seenaknya keluar masuk agama. Islam melarang umatnya untuk ‘membongkar-pasang’ keyakinan dalam Islam, dengan kata lain, melarang umatnya untuk membuat ‘agama baru’.
Kedua: kebebasan berpendapat. Dalam demokrasi, setiap individu berhak mengembangkan pendapat atau ide apapun dan bagaimanapun bentuknya tanpa tolok ukur halal-haram. Tidak aneh, dalam demokrasi, kita mendapati banyak pendapat yang dipakai untuk ‘menghujat’ Islam; seperti bahwa Islam adalah ajaran Muhammad (Mohammadanisme), bukan syariah Allah; al-Quran adalah produk budaya, tidak sakral, dll. Inilah pandangan-pandangan liberal. Jelas ini bertentangan dengan Islam.
Ketiga: kebebasan kepemilikan. Intinya, seseorang boleh memiliki harta (modal) sekaligus mengembangkannya dengan sarana dan cara apapun. Di Indonesia, pihak asing bahkan diberikan kebebasan untuk menguasai sumberdaya alam milik rakyat, antara lain melalui UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, dll.
Keempat: kebebasan berperilaku. Intinya, setiap orang bebas untuk berekspresi, termasuk mengekspresikan kemaksiatan seperti: membuka aurat di tempat umum, berpacaran, berzina, menyebarluaskan pornografi, melakukan pornoaksi, melakukan praktik homoseksual dan lesbianisme, dll.
Itulah hakikat sistem demokrasi yang sejatinya menjauhkan hukum Allah dan menanamkan liberalisasi.

Saatnya Khilafah Menggantikan Demokrasi



Islam yang dipegang oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya, dan seluruh generasi terbaik setelahnya. Termasuk islam yang dipegang oleh para panglima besar islam semisal Muhammad Al;Fatih, Thariq bin ziyad, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Islam yang bukan hanya hiasan dan asesoris kehidupan, islam yang mencerahkan dan membangkitkan, islam yang sempurna, islam yang kaaffah. Mereka menjadikan islam lebih dari sekedar inspirasi, sebagai ideologi kehidupan.
Islam yang diterapkan Rasulullah saw bukanlah islam yang menganggap bahwa Allah hanya pantas dimuliakan dimasjid ataupun pada bulan Ramadhan saja. Bukan pula islam yang menaruh allah hanya pada ranah individual, sedangkan dalam ranah sosial kenegaraan, Allah dipinggirkan. Islam yang di terapkan Rasulullah saw adalah islam yang total, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam sosial kenegaraan.
Kunci keberhasilan Rasulullah saw dalam membina generasi-generasi terbaik adalah dengan menghujamkan aqidah yang kuat kepada kaum muslim. Aqidah yang diperoleh melalui jalan berpikir sehingga memuaskan akal dan menentramkan hati, serta dengan bukti-bukti yang sangat nyata.
Rasulullah saw pun memberikan contoh yang sangat nyata bahwa setiap aqidah yang benar, pasti menjadikan pengembannya selalu ingin terikat dangan hukum-hukum Allah, karena pengemban aqidah islam memahami bahwa Allah telah menurunkan aturan yang khas bagi manusia dalam rangka mengatur penghambaan kepadanya. Penghambaan manusia kepada Allah tidak hanya dalam ibadah ritual semacam shalat, dan puasa, tapi mencakup juga dalam masalah ekonomi, sosial budaya, pemerintahan, politik dsb.
Inilah takdir bagi setiap insan yang telah bersyahadat, yaitu menjalani hidupnya sesuai dengan perintah Allah semata, mengelola bumi dan manusia seperti yang dia perintahkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasul-Nya. Dengan logika ini, maka setiap kerusakan yang kita lihat didunia ini, pastilah ulah tangan manusia yang enggan menjalankan perintah Allah dalam setiap sendi kehidupannya.
Sesungguhnya tidak ada cara lain bagi orang yang berfikir sehat, dan tidak ada pilihan lain bagi orang muslim, bahwa satu-satunya solusi bagi keterpurukan ummat saat ini adalah mengembalikkan aqidah dan syariat islam dalam tubuh ummat agar mereka bangkit sebagimana Rasulullah saw membangkitkan umat muslim. Penerapan hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah seharusnya menjadi harga mati bagi orang-orang yang memahami aqidah dan syariat islam.

Sayangnya, islam yang dicontohkan Nabi Muhammad saw yang menyatu dalam kedua sisi, baik sisi politis maupun spiritual, tidak banyak dipahami oleh masyarakat. Bahkan, tokoh-tokoh yang dianggap sebagai sumber pengetahuan islam pun menganggap bahwa ide bersatunya politik dan spiritual islam bukan berasal dari khazanah ilmu islam. Bahkan, berkembang diantara kaum muslim pernyataan di dalam bibel :
“Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”(Matius 22:21).
Tampaknya sekulerisme telah sukses merasuk ke dalam jiwa umat islam, menjadikan umat memandang bahwa islam hanyalah pengatur ibadah dan akhirnya membuat ummat berdalil dengan hujjah yang bukan berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan pula dari sahabat maupun ilmuwan islam.
Rasulullah saw sendiri telah mengatur bagaimana penjagaan syariah islam melalui kekuasaan dengan sabdanya yang mulia:
“Dahulu bani israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, digantikan oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Tetapi nanti akan ada banyak khalifah. Para sahabat bertanya, Apa yang engkau perintahkan kepada kami?. Beliau menjawab, penuhilah bai’at yang pertama, dan yang pertama saja. Berikanlah hak mereka, sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap urusan yang dibebankan kepada mereka” (HR. Bukhari dan Muslim).
            Para nabi Allah sejatinya melakukan aktivitas politik atau aktivitas pengurusan ummatnya. Begitupun Rasulullah saw melakukan aktivitas politik dalam pengurusan ummatnya dengan menjadi kepala negara di Madinah Al-Munawarrah. Rasul menjelaskan bahwa sepeninggalnya tidak ada lagi nabi, sehingga kepengurusan ummat diteruskan oleh para khalifah.
            Inilah kekuasaan yang dimaksud dalam islam, yang dapat menjamin diterapkannya hukum Allah diatas muka bumi dan memberikan kesejahteraan serta keadilan dan rahmat seluruh alam. Dan rasul pun tidak pernah memerintahkan, mewajibkan, atau mencontohkan sitem lain dalam kekuasaan kecuali dengan sistem khilafah. Ketiadaan khilafah ini sudah pasti akan membuat syariat islam tidak dapat diterapkan, yang akhirnya menyebabkan kehancuran ekonomi, kerusakan sosial budaya dan politik, matinya keadilan dan hukum sebagai hasil tidak diterapkannya hukum islam. Maka wajarlah imam Mawardi menegaskan dalam kitabnya Ahkamus Sulthaniyyah.
“Mengangkat imam (khalifah) bagi yang menegakannya di tengah-tengah umat merupakan kewajiban berdasarkan ijma”
Ketika terwujud kepemimpinan islam untuk seluruh ummat muslim diseluruh dunia dengan adanya khilafah, islam akan menunjukan jatidiri yang sebenarnya. Dengan khilafah inilah, akan terwujud persatuan kaum muslim yang hakiki. Dengan kepemimpinan islam ini, dilahirkanlah salaf yang memegang teguh islam. Dalam kepemimpinan ini konstantinopel dibebaskan oleh kaum muslim. Dengan kepemimpinan ini pula insya Allah Roma akan dibebaskan kaum muslim. Maka sesungguhnya tiada perkataan yang lebih mulia dibandingkan dengan muslim yang mendakwahkan islam dan berupaya untuk meninggikan kalimat Allah lewat penerapan islam sempurna dibawah panji syahadat dalam naungan khilafah.
Akhirnya, bila dalam pembebasan konstantinopel kaum muslim harus bersabar sekitar 825 tahun, dan dalam rentang waktu itu, ulama tidak henti-hentinya menyemangati, mendorong, bahkan terjun ke medan jihad untuk menggapai bisyarah Rasulullah saw, dan akhirnya semua keberanian, ketaatan dan kesabaran terakumulasi pada seorang Muhammad Al-Fatih. Allah pun mengizinkan kaum muslim menyaksikan kebenaran bisyarah tersebut melalui pemuda 21 tahun itu.
Dan masih ada bisyarah rasul tentang pembebasan Romawi Barat yang dilambangkan dengan kota Roma. Karena itu, bagi kaum muslim yang meyakini janni Allah, pembebasan kota Roma sebenarnya telah terjadi karena rasul telah menyampaikannya. Kenyataannya hanya tinggal menunggu waktu saja. Pertanyaannya adalah “Siapa yang akan lebih dulu merealisasikan bisyarah itu!”.
Niscaya suatu saat nanti akan ada seorang pemuda yang akan memasuki gerbang kota Roma sambil menggenggam bendera putih bertuliskan kalimat syahadat. Dia berjalan perlahan menuju tengah kota dengan keimanan dan kerendahan hati. Lisannya basah oleh kalimat dzikir dan ucapan syukur atas nikmat yang diterimanya dari tuhannya, dan dia pun berkata :
“Alhamdulillah, inilah janji Rasul-ku dan Tuhan-ku kepadaku dan seluruh ummat muslim, sungguh aku telah melihat hal ini jauh sebelum mataku melihatnya. Maka sabda Rasul telah aku genapkan, dan janji Allah telah aku buktikan”.
            Pada saat yang sama, dia melihat panji Rasulullah saw yang berwarna hitam dan putihnya berkibar gagah diseluruh bumi dari timur hingga barat.
            Bangkitlah kaum muslim, kota roma menanti kita!, Insya Allah dia akan dibebaskan dengan pemimpin dan pasukan sekualitas Muhammad Al-Fatih dan pasukannya. Roma akan ditaklukan di bawah panji syahadatin pada masa khilafah. 

Batman Begins - Diagonal Resize 2

iklan


animasi bergerak naruto dan onepiece