Indonesia termasuk negara paling demokratis. Demikianlah pengakuan
masyarakat dunia. Pasalnya, Indonesia telah berhasil mengembangkan dan
mempraktikkan demokrasi yang ditandai dengan suksesnya penyelenggaraan Pemilu
2004 yang mengantarkan SBY—dari parpol yang baru terbentuk—menjadi presiden. Demikian tegas Ketua Komite
Konferensi Dunia IAPC ke-40, Pri Sulisto, di Nusa Dua, Bali (Republika, 12/11/07).
Indonesia akhirnya meraih “Medali Demokrasi”. Medali tersebut diberikan
oleh IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik)—sebuah organisasi profesi
yang memperjuangkan demokrasi di seluruh dunia—karena Indonesia merupakan
negara pertama berpenduduk mayoritas Muslim yang dinilai melakukan proses
demokrasi dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, Co Chairman Komite Konferensi
IAPC, ke-40, Robert Murdoch, menambahkan, selain sebagai penghargaan,
dipilihnya Indonesia menjadi tempat pertemuan juga merupakan perwujudan
perjuangan IAPC untuk mempromosikan demokrasi di seluruh dunia. (web.bisnis.com, 13/11/07)
Pertanyaannya, apakah demokrasi berkolerasi dengan kesejahteraan
masyarakat? Apakah dengan demokrasi seluruh kebutuhan masyarakat—seperti
sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan—tercukupi dengan
baik? Faktanya, di Indonesia banyak rakyat miskin tanpa rumah dengan
malnutrisi, tidak mempunyai harapan hidup layak karena tidak adanya jaminan
kesehatan, biaya pengobatan yang melabung tinggi, rasa aman yang mahal dan yang
lainnya.
Salah Paham Tentang Demokrasi
Banyak kalangan salah paham terhadap demokrasi. Banyak orang hanya memahami
demokrasi sebagai perwujudan partisipasi rakyat dalam Pemilu yang transparan
dan akuntabel, ditambah dengan aktivitas musyawarah para wakil rakyat dalam
mengambil keputusan; tak peduli apakah keputusan hasil musyawarah untuk
dijadikan aturan itu bertentangan dengan hukum Islam ataukah tidak. Dengan
demikian, orang/lembaga/negara dikatakan demokratis jika mendengarkan pendapat
orang lain melalui musyawarah sebelum mengambil keputusan. Inilah sebenarnya
yang disebut dengan ‘demokrasi prosedural.’
Walhasil, mudah dimengerti jika Pemilu yang demokratis tidak bisa dijadikan
ukuran suksesnya sebuah negara. Apalagi jika dikaitkan dengan persoalan
kemakmuran warga negaranya. Padahal, katanya, dengan demokrasi diharapkan
negara bisa mencapai kemakmuran. Kementerian Perumahan Rakyat mencatat, pada
awal Oktober 2007 terdapat sekitar 9,5 juta keluarga di Indonesia yang belum
mempunyai rumah. (Jawa Pos, 30/10/07). Akhir-akhir ini pembangunan ekonomi di
Indonesia juga telah menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan.
Ekonomi saat ini memunculkan jurang pemisah yang semakin lebar antara si kaya
dan si miskin. Jurang pemisah ini jelas akan menimbulkan serentetan akibat
buruk bagi peri kehidupan di masyarakat. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui
bahwa kesenjangan sosial yang terlalu besar pada bangsa ini bisa memicu siklus
kekerasan yang selalu terjadi setiap 5 tahun terakhir. (Antara News, 23/10/07).
Hakikat Sistem Demokrasi
Sistem demokrasi di negara manapun selalu mencerminkan paling tidak dua
hal: (1) Kedaulatan rakyat; (2) Jaminan atas kebebasan umum.
Kedaulatan rakyat.
Demokrasi identik dengan jargon “dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat”;
dengan kata lain, kedaulatan ada di tangan rakyat. Benarkah secara faktual
dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat?
Anggapan yang menyatakan kedaulatan ada di tangan rakyat jelas keliru.
Faktanya, di Indonesia sendiri, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para
elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa dan pengusaha. Bahkan kebijakan dan
keputusan Pemerintah sering dipengaruhi oleh kepentingan para pemilik modal,
baik lokal maupaun asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang
merupakan produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden—yang katanya
perpanjangan dari kepentingan rakyat karena dipilih langsung oleh rakyat—sering
bertabrakan dengan kemauan rakyat. Betapa sering kebijakan Pemerintah yang
diamini para wakil rakyat justru didemo oleh rakyat sendiri.
Pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Cilfrede Pareto dan Robert
Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi
tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya yang berkuasa adalah
sekelompok kecil orang atas kelompok besar. Khusus kasus di Indonesia, kelompok
mayoritas adalah Muslim, tetapi kenyataanya yang senantiasa diuntungkan adalah
kelompok non-Muslim karena kekuasaan atau modal dimiliki oleh kelompok
minoritas non-Muslim. Hal senada juga dinyatakan oleh Benjamin Constan. Ia
menyatakan bahwa demokrasi membawa masyarakat menuju jalan yang menakutkan,
yaitu kediktatoran parlemen.
Jelas, ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang hanya mengakui
kedaulatan hukum syariah (Hukum Allah). Dalam demokrasi, rakyat (manusia)
diberi kewenangan penuh untuk membuat hukum, termasuk membuat hukum yang
bertentangan dengan aturan-aturan Allah (syariah). Inilah yang terjadi di
negara-negara yang menerapkan demokrasi, termasuk Indonesia. Padahal dalam
Islam, hanya Allah yang berhak menetapkan hukum. Allah Swt. berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. (QS an-An‘am [6]: 57).
Jaminan atas kebebasan umum.
Pertama: kebebasan beragama. Dalam demokrasi, seseorang
berhak meyakini suatu agama/keyakinan yang dikehendakinya tanpa tekanan atau
paksaan. Dia berhak pula meninggalkan agama dan keyakinannya, lalu berpindah
pada agama atau keyakinan baru. Seseorang juga berhak untuk tidak beragama atau
membuat ‘agama baru’.
Jelas ini bertentangan dengan Islam. Memang, dalam Islam tidak ada paksaan
dalam memeluk agama Islam. Ini diserahkan sepenuhnya kepada individu
masing-masing (lihat: QS). Namun, tatkala seseorang telah
memeluk agama Islam, dia berkewajiban untuk tunduk dan patuh pada syariah atau
aturan-aturan Allah, termasuk di dalamnya keharaman untuk keluar dari agama
Islam atau murtad. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Siapa saja yang menukar agamanya
(murtad) maka bunuhlah. (HR).
Islam sangat menjaga kesucian agama. Tidak bisa dengan seenaknya keluar
masuk agama. Islam melarang umatnya untuk ‘membongkar-pasang’ keyakinan dalam
Islam, dengan kata lain, melarang umatnya untuk membuat ‘agama baru’.
Kedua: kebebasan berpendapat. Dalam demokrasi, setiap
individu berhak mengembangkan pendapat atau ide apapun dan bagaimanapun
bentuknya tanpa tolok ukur halal-haram. Tidak aneh, dalam demokrasi, kita
mendapati banyak pendapat yang dipakai untuk ‘menghujat’ Islam; seperti bahwa
Islam adalah ajaran Muhammad (Mohammadanisme), bukan syariah Allah; al-Quran adalah
produk budaya, tidak sakral, dll. Inilah pandangan-pandangan liberal. Jelas ini
bertentangan dengan Islam.
Ketiga: kebebasan kepemilikan. Intinya, seseorang boleh
memiliki harta (modal) sekaligus mengembangkannya dengan sarana dan cara
apapun. Di Indonesia, pihak asing bahkan diberikan kebebasan untuk menguasai
sumberdaya alam milik rakyat, antara lain melalui UU Migas, UU SDA, UU
Penanaman Modal, dll.
Keempat: kebebasan berperilaku. Intinya, setiap orang
bebas untuk berekspresi, termasuk mengekspresikan kemaksiatan seperti: membuka
aurat di tempat umum, berpacaran, berzina, menyebarluaskan pornografi,
melakukan pornoaksi, melakukan praktik homoseksual dan lesbianisme, dll.
Itulah hakikat sistem demokrasi
yang sejatinya menjauhkan hukum Allah dan menanamkan liberalisasi.