WELCOME TO MY BLOG
| | | | |
TEGAKKAN SYARI'AH DAN KHILAFAH ISLAMIYAH

Senin, 18 Maret 2013

Anestrus Pada Sapi




ANESTRUS PADA SAPI
Anestrus merupakan suatu keadaan pada hewan betina yang tidak menunjukkan gejala estrus dalam jangka waktu yang lama. Tidak adanya gejala estrus tersebut dapat disebabkan oleh tidak adanya aktivitas ovaria atau akibat aktivitas ovaria yang tidak teramati. Anestrus sering merupakan penyebab infertilitas pada sapi. Gangguan reproduksi ini umumnya terjadi pada sapi sesudah partus atau inseminasi tanpa terjadi konsepsi
 Penyebab
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi anestrus yaitu umur, kebuntingan, periode laktasi, pakan, musim, lingkungan, patologi ovarium dan uterus, serta penyakit kronis.

1.    Umur
Anestrus pada hewan betina yang masih muda disebabkan poros hypothalamus, hipofisa anterior belum berfungsi secara baik, kelenjar hipofisa anterior belum cukup mampu menghasilkan hormon gonadothropin sehingga ovarium juga belum mampu menghasilkan hormon estrogen sebagai akibat belum terjadi pertumbuhan folikel yang sempurna. Anestrus pada hewan betina yang telah berumur tua, hipofisi anterior telah mengalami perubahan dan penurunan fungsi sehingga mendorong berkurangnya sekresi hormon gonadothropin disertai dengan penurunan respon ovarium terhadap hormon tersebut.

2.    Kebuntingan
Hewan yang sedang bunting, pada ovariumnya terdapat korpus luteum yang mampu menghasilkan hormon progesteron yang berperan menjaga kebuntingan dalam jumlah besar. Hormon progesteron menghambat kerja kelenjar hipofisa naterior karena adanya mekanisme umpan balik negatif dan disertai sekresi hormon gonadothropin yang menurun sehingga tidak mendorong pertumbuhan folikel baru pada ovarium (karena tidak ada hormon estrogen yang dapat disekresi). Keadaan ini yang menyebabkan birahi tidak timbul dan selalu dalam keadaan anestrus.
3.    Laktasi
Kadar hormon LTH atau prolaktin yang tinggi dalam darah pada hewan yang sedang laktasi dapat mendorong terbentuknya korpus luteum persisten (kelanjutan dari korpus luteum gravidatum yang ada pada waktu kebuntingan). Hal ini berkaitan dengan kadar progesteron dalam darah meningkat tajam sebagai mekanisme umpan balik negatif pada kelenjar hipofisa anterior dan menghambat sekresi hormon gonadothropin. Keadaan ini menyebabkan folikel baru tidak tumbuh dan tidak ada sekresi estrogen sehingga terjadi anestrus.

4.    Patologi ovarium dan uterus
Berdasarkan faktor penyebabnya, meliputi :
a.    Anestrus karena genetik (kongenital)
Gangguan karena cacat kongenital atau bawaan lahir dapat terjadi pada ovarium dan pada saluran reproduksinya.
1)   Hipoplasia ovaria
Merupakan suatu keadaan ovarium tidak berkembang maksimal karena keturunan. Hal ini dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral. Apabila terjadi pada salah satu indung telur maka sapi akan menunjukan gejala anestrus (tidak pernah birahi) dan apabila terjadi pada kedua indung telur maka sapi akan steril (majir). Secara perrektal indung telur akan teraba kecil, pipih dengan permukaan berkerut.  (kadang seperti kacang polong).
Pada sapi betina hipoplasia yang parsialis, pertumbuhan alat kelaminnya adalah normal. Sedangkan hewan betina yang menderita hipoplasia berat yang bilateral, pertumbuhan saluran alat kelamin menjadi tidak sempurna dan tetap kecil, birahinya tidak muncul dan tidak ada pertumbuhan sifat-sifat kelamin sekunder. Ini disebabkan pertumbuhan saluran alat kelamin ada dibawah pengaruh hormone steroid yang dihasilkan oleh ovarium. Pada sapi betina yang menderita hipoplasia ovariuym yang berat dan bilateral, akan berupa seekor sapi jantan kebiri, kakinya panjang, pelvisnya sempit, ambingnya tidak tumbuh dan putingnya kecil, uterusnya kecil dan keras. Alat kelamin luarnya juga kecil karena tidak berkembang
2)   Agenesis ovaria
Merupakan suatu keadaan sapi tidak mempunyai indung telur karena keturunan. Dapat terjadi secara unilateral (salah satu indung telur) ataupun bilateral (kedua indung telur).
3)   Freemartin
Kelahiran kembar pedet jantan dan betina pada umumnya mengalami abnormalitas yang disebut freemartin. Abnormalitas ini terjadi pada saat organogenesis yang kemungkinan disebabkan migrasi hormon jantan melalui anastomosis vascular ke pedet betina dan intersexuality. Organ betina sapi betina tidak berkembang (ovaria hiploplastik) dan ditemukan pula organ jantan (glandula vesicularis). Pada umumnya, kromosom X membawa gen untuk betina dan jantan, namun ketiadaan kromosom Y pada betina menyebabkan perkembangan organ jantan tertekan, sementara pada penderita sindrom freemartin, kromosom yang dimiliki adalah XXY sehingga inhibisi untuk perkembangan organ betina hilang. Organ betina sapi freemartin tidak berkembang (ovaria hipoplastik) dan ditemukan juga organ jantan (glandula vesikularis). Sapi betina nampak kejantanan seperti tumbuh rambut kasar di sekitar vulva, pinggul ramping dengan hymen persisten. Klitoris berkembang lebih besar, vagina kecil dan ujungnya buntu. Servik tidak normal, uterus kecil dan tuba falopii tidak teraba. Dignosa pada freemartin adalah dengan alat berupa kateter yang dimasukkan ke dalam vagina, jika betina normal, kateter dapat masuk sampai 12-15 cm, sementara pada penderita freemartin kateter hanya dapat masuk sampai 5-6 cm (Bearden, 2004).
4)   Atresia vulva.
Merupakan suatu kondisi pada sapi induk dengan vulva mengecil dan ini beresiko terhadap distokia. Kadang-kadang kelainan ini bersamaan dengan atresia ani. Kasusnya jarang pada ternak, tetapi kelainan ini bersifat menurun. Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis khususnya pemeriksaan pada alat kelamin luarnya, yaitu adanya kelainan pada bagian ventral dari vulva. Penanggulangan dapat dilakukan dengan operasi melalui pelepasan bagian yang mengalami perlekatan. Bila dijumpai pada ternak betina, sebaiknya tidak dikawinkan dan dikeluarkan dari peternakan.

5)  Saluran serviks ganda (Double Serviks)
Penyebab dari keadaan ini, adalah tidak berjalannya secara normal, persatuan kedua saluran muller pada periode embrional, sehingga ada pita yang membagi korpus uteri dan saluran serviks menjadi dua bagian terpisah. Diagnosa dengan pemeriksaan memakai vaginoskop, akan terlihat seolah-olah ada dua lobang pada saluran serviks, karena ada selaput yang membagi saluran serviks berupa tenuna seperti pita. Pada keadaan yang berat terjadi dinding pemisah tebal. Seperti pita tersebut membentang sepanjang serviks sampai pangkal koruna uteri, sehingga kedua saluran serviks masing-masing berhubungan dengan koruna uterinya sendiri-sendiri sehingga terbentuklah uterus didelpis.
6)  Aplasia segmentalis ductus mulleri (white heifer disease)
                 Kelainan ini terjadi pada uterus, sebagai akibat dari tidak sempurnanya persatuan kedua saluran muller pada periode embrional, akibatnya terjjadi kelainan pada bentuk uterus. Kelainan ini disebabkan oleh gen yang resesif yang semula diduga bertautan dengan warna putih (sex linkage). Kelainan pada saluran uterus ini sering disebut white heifer disease karena banyak dijumpai pada sapi dara yang bewarna putih dari bangsa shorhorn. Akan tetapi ternyata kelainan genetic pada uterus ini dijumpai juga pada sapi-sapi yang berwarna bukan putih seperti sapi Holstein, jersey, Guernsey, dan lain-lain.

b.    Gangguan Hormon
1)   Sista ovarium
Sista ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu atau lebih struktur berisi cairan dan lebih besar dibanding folikel masak. Penyebabnya antara lain gangguan ovulasi dan endokrin (rendahnya hormon LH), sedangkan faktor predisposisinya adalah herediter, problem sosial, dan diet protein.
Adanya sista tersebut menjadikan folikel de Graaf tidak ovulasi tetapi mengalami regresi atau mengalami luteinisasi sehingga ukuran folikel meningkat, degenerasi lapisan sel granulosa, dan menetap minimal 10 hari. Akibatnya sapi-sapi menjadi anestrus atau nymphomania.
Ada 3 macam bentuk sista ovarium, yaitu sista folikuler, sista luteal dan sista korpora luteal.
a.      Sista folikuler (Thin Walled Cyst)
Terjadi karena rendahnya hormon LH, akibatnya terjadi kegagalan ovulasi dan luteinasi pada folikel yang matang. Pada pemeriksaan per rektal teraba ovarium berdiameter lebih dari 2,5 cm, permukaan halus, dinding tipis, jika ditekan terdapat fluktuasi. Penanganan : enukleasi dan pemberian hormon LH/hCG. Ciri spesifik yaitu terjadi nimfomania (selama 3-10 hari), jika berlanjut terus menerus maka sapi akan memiliki pangkal ekor yang meninggi karena relaksasi ligamentum pelvis yang berlebihan, dan juga dapat terbentuk leher maskulin. Ciri spesifik lain yaitu: tonus vulva, vagina, servik, dan uterus berkurang; prolapsus vagina secara pasif; relaksasi ligamentum sacroiliaca dan ligamentum pelvis (menyebabkan penampilan sterility hump pada pangkal ekor); perubahan metabolisme; perubahan produksi susu; rambut kasar; nervous; emaciasi.

b.  Sista luteal.
Sista luteal adalah folikel matang yang gagal mengalami ovulasi namun mengalami luteinasi oleh tingginya hormon LTH.Karena berbeda tingkatan luteinasi, sista luteal teraba lebih kenyal/tidak sepadat corpus luteum.Gejala yang ditimbulkan adalah terjadi anestrus. Pada pemeriksaan per rektal teraba ovarium berdiameter lebih dari 2,5 cm, permukaan halus, dinding tebal, jika ditekan kenyal., bersifat non ovulatorik Penanganan pemberian PGF2α.

 c. Sista korpora luteal.
 Sista korpora luteal adalah korpus luteum yang di dalamnya terbentuk rongga dan berisi cairan.Sista corpora luteal tidak dapat mempertahankan kebuntingan, akibatnya, setelah sapi dikawinkan, dan terjadi fertilisasi, terjadi kematian embrio dini karena progesteron yang dihasilkan CL yang menjadi sista tidak mencukupi.Gejala yang muncul yaitu kawin berulang (repeat breeding). Pada pemeriksaan per rektal teraba ovarium berdiameter lebih dari 2,5 cm, permukaan halus, dinding tipis, jika ditekan terasa kenyal. Penanganan: pemberian PGF2α (jika sapi bunting) atau CIDR/PRID (jika tidak bunting) (Coleman, 2005).

d.    Silent heat.
Merupakan ovulasi yang tidak diikuti dengan timbulnya gejala estrus. Tetapi, biasanya estrus pertama post partum secara normal terjadi tanpa perilaku estrus, hal ini karena tidak ada reseptor estrogen akibat dari rendahnya progesteron post partum (progesteron dibutuhkan sebagai penginduksi reseptor estrogen, jika resepetor estrogen tidak ada maka estrus terjadi secara diam (Eilts, 2007).

5.    Pakan (nutrisi)
Ransum pakan kualitas dan kuantitas rendah seperti kekurangan lemak dan karbohidrat dapat mempengaruhi aktivitas ovarium sehingga menekan perrtumbuhan folikel dan mendorong timbulnya anestrus, kekurangan protein mendorong terjadinya hipofungsi ovarium disertai anestrus.
Faktor manajemen sangat erat hubungannya dengan faktor nutrisi. Jika tubuh kekurangan nutrisi, terutama untuk jangka waktu yang lama, maka akan mempengaruhi sistem reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah, dan akhirnya produktivitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofisis anterior sehingga produksi dan sekresi hormon FSH dan LH rendah karena tidak cukupnya ATP, akibatnya ovarium mengalami hipofungsi.
Pengaruh lainnya pada saat ovulasi, transport sperma, fertilisasi, pembelahan sel, perkembangan embrio, dan fetus. Kekurangan nutrisi yang terjadi pada masa pubertas hingga partus pertama akan mengakibatkan birahi tenang, kelainan ovulasi, gagal konsepsi, serta kematian embrio dan fetus.
Nutrisi yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi di antaranya protein, vitamin A, dan mineral (P, Cu, Co, manganese, iodine, selenium). Selain nutrisi tersebut di atas, yang perlu diperhatikan adalah adanya ransum yang harus dihindari selama masa kebuntingan karena dapat menyebabkan abortus, yaitu racun daun cemara, nitrat, ergotamin, napthalen, khlor, dan arsenik.
Pada ovarium, feed intake rendah yang menunda pubertas adalah disertai penurunan perkembangan folikel ovarium, pada sapi betina adalah folikel dominan lebih kecil. Hal ini terjadi meski sekresi gonadotropin tercukupi.

6.    Musim
Pada musim panas kualitas hijauan pakan menjadi sangat menurun sehingga banyak dijumpai kasus anestrus akibat kekurangan asupan nutrisi.

7.    Lingkungan
Lingkungan yang kurang cocok, kandang sempit, kurang ventilasi dapat menimbulkan stress yang memicu kondisi anestrus.

8.    Penyakit kronis
Penyakit secara umum menyebabkan penurunan berat badan sebagai pemicu anestrus akibat kekurangan asupan nutrisi. Penyakit cacingan pada saluran pencernaan yang bersifat kronis sering disertai anestrus dalam jangka panjang.

.      Pengobatan dan Pencegahan
1.    Pengobatan
Terapi hormonal
Rangsangan aktivitas ovarium pada kasus anestrus postpartum (hipofungsi ovarium), telah banyak dilaporkan seperti penyuntikan hormon gonadotropin pada sapi (Hafez, 2000). Penyuntikan GnRH  pada sapi potong dapat menginduksi pelepasan FSH dan LH. Penyuntikan GnRH juga pada domba yang mengalami anestrus dapat menginduksi pelepasan FSH dan LH (Ainsworh et al., 1982).
Penggunaan PMSG pada kasus anestrus juga telah banyak dilaporkan dapat menginduksi timbulnya estrus (Putro, 1991 ; Hafez, 2000). PMSG dapat mengaktivitas FSH yang tinggi dan sedikit aktivitas LH sehingga mampu memicu perkembangan folikel dan terjadinya estrus (Hafez, 2000).
Gabungan hormon estrogen dengan progesteron juga pernah dicoba pada sapi perah yang mengalami anestrus postpartum, namun kurang berhasil dibandingkan hormon gonadotropin, dan penanganan yang paling efektif pada kasus hipofungsi ovaria adalah pemberian FSH yang diikuti dengan pemeberian LH (McDougall and Compton, 2005).
Penanganan dan terapi anestrus lainnya:
·         Perbaikan manajemen pakan ternak
·         Pemberian obat-obatan berupa antiobiotik dan anthelmetik pada penyakit yang disebabkan oleh cacing dan virus.
·         Pada kasus corpus luteum persisten, sista luteum, dan sista corpora luteum dapat diobati dengan menggunakan PGF2α.
·         Penggunaan estradiol sintetik pada kasus silent heat dan subestrus.
·         Untuk subestrus dapat dideteksi dengan menggunakan pejantan teaser pda betina estrus, sehingga saat itu juga dapat di IB.
·         Pemberian LH sintetik pada kasus sista ovari.
·         Pada kasus kematian fetus, dapat dipacu dengan oksitosin untuk memacu kontraksi myometrium untuk pengeluaran fetus.
·         Pada masa laktasi untuk mengurangi kasus anestrus dapat disuntikkan FSH, LH, dan GnRH.

2.    Pencegahan
Pencegahan terhadap anestrus dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain :
1.   Perbaikan pengelolaan. Dilakukan dengan pengamatan birahi pada ternak. Ternak yang diamati birahinya, sebaiknya dilepaskan bersama dan diamati dengan teliti, satu, dua atau sampai 3 kali perhari, karena pengamatan brahi dikandang sangat tdak memuaskan. Dengan ini bisa diketahui apakah sapi tersebut mengalami anestrus.
2.   Merangsang aktivitas ovaria dengan cara pemberian (eCG 3000-4500 IU; GnRH 0,5 mg; PRID/ CIDR dan estrogen).
3.   Memilih sapi dengan penilaian tubuh yang baik sebagai indukuan, agar memperoleh anakan yang bagus.
4.   Menjaga sapi agar tidak mengalami stress
5.   Jangan mengkandangkan sapi secara terus-menerus
6.   Memberbaiki manajemen pakan dengan memperhatikan maslah nutrisi.
Manajemen pakan
Faktor manajemen sangat erat hubungannya dengan factor pakan/nutrisi. Jika tubuh kekurangan nutrisi terutama untuk jangka waktu yang lama maka akan mempengaruhi fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan akhirnya produktivitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofisis anterior sehingga produksi dan sekresihormone FSH dan LH rendah (karene tidak cukupnya ATP), akibatnya ovarium tidak berkembang (hipofungsi).Pengaruh lainnya pada saat ovulasi, transport sperma, fertilisasi, pembelahan sel, perkembangan embrio dan fetus. Kekurangan nutrisi yang terjadi pada masa pubertas sampai beranak pertama maka kemungkinannya adalah: birahi tenang, defek ovulatory (kelainan ovulasi), gagal konsepsi, kematian embrio/fetus. Nutrisi yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi diantaranya: protein, vitamin A, mineral/vitamin (P, kopper, kobalt, manganese, lodine, selenium). Selain nutrisi tersebut diatas, yang perlu diperhatikan adalah adanya ransum yang harus dihindari selama masa kebuntingan karena dapat menyebabkan obortus (keguguran), diantaranya: racun daun cemara, nitrat, ergotamine, napthalen, khlor, dan arsenik. Hal ini dapat dicegah dengan:
·         Pemberian kebutuhan kasaar 10% dari berat tubuh, dengan kandungan protein 12%.
·         Pemberian konsentrat 1-2% dari berat badan.
·         Pemberian bahan kering pakan 2-4% berat badan.




DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2010. Gangguan Reproduksi Dan Pencegahannya, (Online).  http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/12/20/macam-gangguan-reproduksi-dan-penanggulangannya-326155.html. (Diakses pada tanggal 03 Maret 2013 [10:50]).
Heyfi. 2012. Anestrus Pada Sapi, (Online).  http://heyfifihindhis.blogspot.com/2012/02/blok-15-up-6-anestrus-pada-sapi.html. (Diakses pada tanggal 03 Maret 2013 [10:50]).
Annisa ully. 2012. Anestrus Pada Sapi Betina, (Online). http://annisa-ully.blogspot.com/2011/02/anestrus-pada-sapi-betina-karena.html. (Diakses pada tanggal 03 Maret 2013 [10:50]).


0 komentar:

Posting Komentar

Batman Begins - Diagonal Resize 2

iklan


animasi bergerak naruto dan onepiece