ANESTRUS PADA SAPI
Anestrus merupakan suatu keadaan
pada hewan betina yang tidak menunjukkan gejala estrus dalam jangka waktu yang
lama. Tidak adanya gejala estrus tersebut dapat disebabkan oleh tidak adanya
aktivitas ovaria atau akibat aktivitas ovaria yang tidak teramati. Anestrus
sering merupakan penyebab infertilitas pada sapi. Gangguan reproduksi ini
umumnya terjadi pada sapi sesudah partus atau inseminasi tanpa terjadi konsepsi
Penyebab
Ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi anestrus yaitu umur, kebuntingan, periode laktasi, pakan, musim,
lingkungan, patologi ovarium dan uterus, serta penyakit kronis.
1. Umur
Anestrus pada hewan betina yang
masih muda disebabkan poros hypothalamus, hipofisa anterior belum berfungsi
secara baik, kelenjar hipofisa anterior belum cukup mampu menghasilkan hormon
gonadothropin sehingga ovarium juga belum mampu menghasilkan hormon estrogen
sebagai akibat belum terjadi pertumbuhan folikel yang sempurna. Anestrus pada
hewan betina yang telah berumur tua, hipofisi anterior telah mengalami
perubahan dan penurunan fungsi sehingga mendorong berkurangnya sekresi hormon
gonadothropin disertai dengan penurunan respon ovarium terhadap hormon
tersebut.
2. Kebuntingan
Hewan yang sedang bunting, pada
ovariumnya terdapat korpus luteum yang mampu menghasilkan hormon progesteron
yang berperan menjaga kebuntingan dalam jumlah besar. Hormon progesteron
menghambat kerja kelenjar hipofisa naterior karena adanya mekanisme umpan balik
negatif dan disertai sekresi hormon gonadothropin yang menurun sehingga tidak
mendorong pertumbuhan folikel baru pada ovarium (karena tidak ada hormon
estrogen yang dapat disekresi). Keadaan ini yang menyebabkan birahi tidak
timbul dan selalu dalam keadaan anestrus.
3. Laktasi
Kadar hormon LTH atau prolaktin yang
tinggi dalam darah pada hewan yang sedang laktasi dapat mendorong terbentuknya
korpus luteum persisten (kelanjutan dari korpus luteum gravidatum yang ada pada
waktu kebuntingan). Hal ini berkaitan dengan kadar progesteron dalam darah
meningkat tajam sebagai mekanisme umpan balik negatif pada kelenjar hipofisa
anterior dan menghambat sekresi hormon gonadothropin. Keadaan ini menyebabkan
folikel baru tidak tumbuh dan tidak ada sekresi estrogen sehingga terjadi
anestrus.
4. Patologi
ovarium dan uterus
Berdasarkan faktor penyebabnya, meliputi :
a. Anestrus
karena genetik (kongenital)
Gangguan karena cacat
kongenital atau bawaan lahir dapat terjadi pada ovarium dan pada saluran
reproduksinya.
1) Hipoplasia ovaria
Merupakan suatu
keadaan ovarium tidak berkembang maksimal karena keturunan. Hal ini dapat
terjadi secara unilateral maupun bilateral. Apabila terjadi pada salah satu
indung telur maka sapi akan menunjukan gejala anestrus (tidak pernah birahi)
dan apabila terjadi pada kedua indung telur maka sapi akan steril (majir).
Secara perrektal indung telur akan teraba kecil, pipih dengan permukaan
berkerut. (kadang
seperti kacang polong).
Pada sapi
betina hipoplasia yang parsialis, pertumbuhan alat kelaminnya adalah normal.
Sedangkan hewan betina yang menderita hipoplasia berat yang bilateral,
pertumbuhan saluran alat kelamin menjadi tidak sempurna dan tetap kecil,
birahinya tidak muncul dan tidak ada pertumbuhan sifat-sifat kelamin sekunder.
Ini disebabkan pertumbuhan saluran alat kelamin ada dibawah pengaruh hormone
steroid yang dihasilkan oleh ovarium. Pada sapi betina yang menderita
hipoplasia ovariuym yang berat dan bilateral, akan berupa seekor sapi jantan
kebiri, kakinya panjang, pelvisnya sempit, ambingnya tidak tumbuh dan putingnya
kecil, uterusnya kecil dan keras. Alat kelamin luarnya juga kecil karena tidak
berkembang
2) Agenesis ovaria
Merupakan suatu
keadaan sapi tidak mempunyai indung telur karena keturunan. Dapat terjadi
secara unilateral (salah satu indung telur) ataupun bilateral (kedua indung
telur).
3) Freemartin
Kelahiran kembar
pedet jantan dan betina pada umumnya mengalami abnormalitas yang disebut
freemartin. Abnormalitas ini terjadi pada saat organogenesis yang kemungkinan
disebabkan migrasi hormon jantan melalui anastomosis vascular ke pedet
betina dan intersexuality. Organ betina sapi betina tidak berkembang
(ovaria hiploplastik) dan ditemukan pula organ jantan (glandula vesicularis). Pada umumnya, kromosom X membawa gen
untuk betina dan jantan, namun ketiadaan kromosom Y pada betina menyebabkan
perkembangan organ jantan tertekan, sementara pada penderita sindrom
freemartin, kromosom yang dimiliki adalah XXY sehingga inhibisi untuk
perkembangan organ betina hilang. Organ betina sapi freemartin tidak berkembang
(ovaria hipoplastik) dan ditemukan juga organ jantan (glandula vesikularis).
Sapi betina nampak kejantanan seperti tumbuh rambut kasar di sekitar vulva,
pinggul ramping dengan hymen persisten. Klitoris berkembang lebih besar,
vagina kecil dan ujungnya buntu. Servik tidak normal, uterus kecil dan tuba
falopii tidak teraba. Dignosa pada freemartin adalah dengan alat berupa kateter
yang dimasukkan ke dalam vagina, jika betina normal, kateter dapat masuk sampai
12-15 cm, sementara pada penderita freemartin kateter hanya dapat masuk sampai
5-6 cm (Bearden, 2004).
4) Atresia vulva.
Merupakan suatu
kondisi pada sapi induk dengan vulva mengecil dan ini beresiko terhadap
distokia. Kadang-kadang kelainan ini bersamaan dengan atresia ani. Kasusnya jarang
pada ternak, tetapi kelainan ini bersifat menurun. Diagnosa dapat dilakukan
dengan pemeriksaan klinis khususnya pemeriksaan pada alat kelamin luarnya,
yaitu adanya kelainan pada bagian ventral dari vulva. Penanggulangan dapat
dilakukan dengan operasi melalui pelepasan bagian yang mengalami perlekatan.
Bila dijumpai pada ternak betina, sebaiknya tidak dikawinkan dan dikeluarkan
dari peternakan.
5) Saluran serviks ganda (Double
Serviks)
Penyebab dari
keadaan ini, adalah tidak berjalannya secara normal, persatuan kedua saluran
muller pada periode embrional, sehingga ada pita yang membagi korpus uteri dan
saluran serviks menjadi dua bagian terpisah. Diagnosa dengan pemeriksaan
memakai vaginoskop, akan terlihat seolah-olah ada dua lobang pada saluran
serviks, karena ada selaput yang membagi saluran serviks berupa tenuna seperti
pita. Pada keadaan yang berat terjadi dinding pemisah tebal. Seperti pita
tersebut membentang sepanjang serviks sampai pangkal koruna uteri, sehingga
kedua saluran serviks masing-masing berhubungan dengan koruna uterinya
sendiri-sendiri sehingga terbentuklah uterus didelpis.
6) Aplasia
segmentalis ductus mulleri (white heifer disease)
Kelainan ini terjadi pada uterus,
sebagai akibat dari tidak sempurnanya persatuan kedua saluran muller pada
periode embrional, akibatnya terjjadi kelainan pada bentuk uterus. Kelainan ini
disebabkan oleh gen yang resesif yang semula diduga bertautan dengan warna
putih (sex linkage). Kelainan pada saluran uterus ini sering disebut white
heifer disease karena banyak dijumpai pada sapi dara yang bewarna putih dari bangsa
shorhorn. Akan tetapi ternyata kelainan genetic pada uterus ini dijumpai juga
pada sapi-sapi yang berwarna bukan putih seperti sapi Holstein, jersey,
Guernsey, dan lain-lain.
b. Gangguan
Hormon
1) Sista
ovarium
Sista ovarium
dikatakan sistik apabila mengandung satu atau lebih struktur berisi cairan dan
lebih besar dibanding folikel masak. Penyebabnya antara lain gangguan ovulasi
dan endokrin (rendahnya hormon LH), sedangkan faktor predisposisinya adalah
herediter, problem sosial, dan diet protein.
Adanya sista
tersebut menjadikan folikel de Graaf tidak ovulasi tetapi mengalami regresi
atau mengalami luteinisasi sehingga ukuran folikel meningkat, degenerasi
lapisan sel granulosa, dan menetap minimal 10 hari. Akibatnya sapi-sapi menjadi
anestrus atau nymphomania.
Ada 3 macam bentuk sista ovarium, yaitu sista folikuler,
sista luteal dan sista korpora luteal.
a.
Sista folikuler (Thin
Walled Cyst)
Terjadi karena rendahnya hormon LH, akibatnya terjadi
kegagalan ovulasi dan luteinasi pada folikel yang matang. Pada pemeriksaan per
rektal teraba ovarium berdiameter lebih dari 2,5 cm, permukaan halus, dinding
tipis, jika ditekan terdapat fluktuasi. Penanganan : enukleasi dan pemberian
hormon LH/hCG. Ciri spesifik yaitu terjadi nimfomania (selama 3-10 hari), jika
berlanjut terus menerus maka sapi akan memiliki pangkal ekor yang meninggi
karena relaksasi ligamentum pelvis yang berlebihan, dan juga dapat terbentuk
leher maskulin. Ciri spesifik lain yaitu: tonus vulva, vagina, servik, dan
uterus berkurang; prolapsus vagina secara pasif; relaksasi ligamentum
sacroiliaca dan ligamentum pelvis (menyebabkan penampilan sterility hump
pada pangkal ekor); perubahan metabolisme; perubahan produksi susu; rambut
kasar; nervous; emaciasi.
b. Sista
luteal.
Sista luteal adalah folikel matang
yang gagal mengalami ovulasi namun mengalami luteinasi oleh tingginya hormon
LTH.Karena berbeda tingkatan luteinasi, sista luteal teraba lebih kenyal/tidak
sepadat corpus luteum.Gejala yang ditimbulkan adalah terjadi anestrus. Pada
pemeriksaan per rektal teraba ovarium berdiameter lebih dari 2,5 cm, permukaan
halus, dinding tebal, jika ditekan kenyal., bersifat non ovulatorik Penanganan
pemberian PGF2α.
c. Sista korpora luteal.
Sista korpora luteal adalah korpus luteum yang
di dalamnya terbentuk rongga dan berisi cairan.Sista corpora luteal tidak dapat
mempertahankan kebuntingan, akibatnya, setelah sapi dikawinkan, dan terjadi
fertilisasi, terjadi kematian embrio dini karena progesteron yang dihasilkan CL
yang menjadi sista tidak mencukupi.Gejala yang muncul yaitu kawin berulang (repeat
breeding). Pada pemeriksaan per rektal teraba ovarium berdiameter lebih
dari 2,5 cm, permukaan halus, dinding tipis, jika ditekan terasa kenyal.
Penanganan: pemberian PGF2α (jika sapi bunting) atau CIDR/PRID (jika tidak
bunting) (Coleman, 2005).
d. Silent
heat.
Merupakan ovulasi yang tidak diikuti
dengan timbulnya gejala estrus. Tetapi, biasanya estrus pertama post partum
secara normal terjadi tanpa perilaku estrus, hal ini karena tidak ada reseptor
estrogen akibat dari rendahnya progesteron post partum (progesteron dibutuhkan
sebagai penginduksi reseptor estrogen, jika resepetor estrogen tidak ada maka
estrus terjadi secara diam (Eilts, 2007).
5. Pakan
(nutrisi)
Ransum pakan kualitas dan kuantitas
rendah seperti kekurangan lemak dan karbohidrat dapat mempengaruhi aktivitas
ovarium sehingga menekan perrtumbuhan folikel dan mendorong timbulnya anestrus,
kekurangan protein mendorong terjadinya hipofungsi ovarium disertai anestrus.
Faktor manajemen
sangat erat hubungannya dengan faktor nutrisi. Jika tubuh kekurangan nutrisi,
terutama untuk jangka waktu yang lama, maka akan mempengaruhi sistem
reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah, dan akhirnya produktivitasnya
rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofisis anterior sehingga
produksi dan sekresi hormon FSH dan LH rendah karena tidak cukupnya ATP,
akibatnya ovarium mengalami hipofungsi.
Pengaruh lainnya
pada saat ovulasi, transport sperma, fertilisasi, pembelahan sel, perkembangan
embrio, dan fetus. Kekurangan nutrisi yang terjadi pada masa pubertas hingga
partus pertama akan mengakibatkan birahi tenang, kelainan ovulasi, gagal
konsepsi, serta kematian embrio dan fetus.
Nutrisi yang sangat
menunjang untuk saluran reproduksi di antaranya protein, vitamin A, dan mineral
(P, Cu, Co, manganese, iodine, selenium). Selain nutrisi tersebut di atas, yang
perlu diperhatikan adalah adanya ransum yang harus dihindari selama masa
kebuntingan karena dapat menyebabkan abortus, yaitu racun daun cemara, nitrat,
ergotamin, napthalen, khlor, dan arsenik.
Pada ovarium, feed intake rendah yang menunda pubertas adalah
disertai penurunan perkembangan folikel ovarium, pada sapi betina adalah
folikel dominan lebih kecil. Hal ini terjadi meski sekresi gonadotropin
tercukupi.
6. Musim
Pada musim panas kualitas hijauan
pakan menjadi sangat menurun sehingga banyak dijumpai kasus anestrus akibat
kekurangan asupan nutrisi.
7. Lingkungan
Lingkungan yang kurang cocok,
kandang sempit, kurang ventilasi dapat menimbulkan stress yang memicu kondisi
anestrus.
8. Penyakit
kronis
Penyakit
secara umum menyebabkan penurunan berat badan sebagai pemicu anestrus akibat
kekurangan asupan nutrisi. Penyakit cacingan pada saluran pencernaan yang
bersifat kronis sering disertai anestrus dalam jangka panjang.
.
Pengobatan dan Pencegahan
1.
Pengobatan
Terapi hormonal
Rangsangan aktivitas ovarium pada kasus
anestrus postpartum (hipofungsi ovarium), telah banyak dilaporkan seperti
penyuntikan hormon gonadotropin pada sapi (Hafez, 2000). Penyuntikan GnRH
pada sapi potong dapat menginduksi pelepasan FSH dan LH. Penyuntikan GnRH juga
pada domba yang mengalami anestrus dapat menginduksi pelepasan FSH dan LH
(Ainsworh et al., 1982).
Penggunaan PMSG pada kasus anestrus
juga telah banyak dilaporkan dapat menginduksi timbulnya estrus (Putro, 1991 ;
Hafez, 2000). PMSG dapat mengaktivitas FSH yang tinggi dan sedikit aktivitas LH
sehingga mampu memicu perkembangan folikel dan terjadinya estrus (Hafez, 2000).
Gabungan hormon estrogen dengan
progesteron juga pernah dicoba pada sapi perah yang mengalami anestrus
postpartum, namun kurang berhasil dibandingkan hormon gonadotropin, dan
penanganan yang paling efektif pada kasus hipofungsi ovaria adalah pemberian
FSH yang diikuti dengan pemeberian LH (McDougall and Compton, 2005).
Penanganan dan terapi anestrus
lainnya:
·
Perbaikan
manajemen pakan ternak
·
Pemberian
obat-obatan berupa antiobiotik dan anthelmetik pada penyakit yang disebabkan
oleh cacing dan virus.
·
Pada
kasus corpus luteum persisten, sista luteum, dan sista corpora luteum dapat
diobati dengan menggunakan PGF2α.
·
Penggunaan
estradiol sintetik pada kasus silent heat dan subestrus.
·
Untuk
subestrus dapat dideteksi dengan menggunakan pejantan teaser pda betina estrus,
sehingga saat itu juga dapat di IB.
·
Pemberian
LH sintetik pada kasus sista ovari.
·
Pada
kasus kematian fetus, dapat dipacu dengan oksitosin untuk memacu kontraksi
myometrium untuk pengeluaran fetus.
·
Pada
masa laktasi untuk mengurangi kasus anestrus dapat disuntikkan FSH, LH, dan
GnRH.
2.
Pencegahan
Pencegahan terhadap anestrus dapat
dilakukan dengan beberapa cara, antara lain :
1. Perbaikan pengelolaan. Dilakukan
dengan pengamatan birahi pada ternak. Ternak yang diamati birahinya, sebaiknya
dilepaskan bersama dan diamati dengan teliti, satu, dua atau sampai 3 kali
perhari, karena pengamatan brahi dikandang sangat tdak memuaskan. Dengan ini
bisa diketahui apakah sapi tersebut mengalami anestrus.
2. Merangsang aktivitas ovaria dengan
cara pemberian (eCG 3000-4500 IU; GnRH 0,5 mg; PRID/ CIDR dan estrogen).
3. Memilih sapi dengan penilaian tubuh
yang baik sebagai indukuan, agar memperoleh anakan yang bagus.
4. Menjaga sapi agar tidak mengalami
stress
5. Jangan mengkandangkan sapi secara
terus-menerus
6. Memberbaiki manajemen pakan dengan
memperhatikan maslah nutrisi.
Manajemen pakan
Faktor
manajemen sangat erat hubungannya dengan factor pakan/nutrisi. Jika tubuh
kekurangan nutrisi terutama untuk jangka waktu yang lama maka akan mempengaruhi
fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan akhirnya
produktivitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofisis
anterior sehingga produksi dan sekresihormone FSH dan LH rendah (karene tidak
cukupnya ATP), akibatnya ovarium tidak berkembang (hipofungsi).Pengaruh lainnya
pada saat ovulasi, transport sperma, fertilisasi, pembelahan sel, perkembangan
embrio dan fetus. Kekurangan nutrisi yang terjadi pada masa pubertas sampai
beranak pertama maka kemungkinannya adalah: birahi tenang, defek ovulatory
(kelainan ovulasi), gagal konsepsi, kematian embrio/fetus. Nutrisi yang sangat
menunjang untuk saluran reproduksi diantaranya: protein, vitamin A,
mineral/vitamin (P, kopper, kobalt, manganese, lodine, selenium). Selain
nutrisi tersebut diatas, yang perlu diperhatikan adalah adanya ransum yang
harus dihindari selama masa kebuntingan karena dapat menyebabkan obortus
(keguguran), diantaranya: racun daun cemara, nitrat, ergotamine, napthalen,
khlor, dan arsenik.
Hal ini dapat
dicegah dengan:
·
Pemberian kebutuhan kasaar 10% dari
berat tubuh, dengan kandungan protein 12%.
·
Pemberian konsentrat 1-2% dari berat
badan.
·
Pemberian bahan kering pakan 2-4% berat
badan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous.
2010. Gangguan Reproduksi Dan Pencegahannya, (Online). http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/12/20/macam-gangguan-reproduksi-dan-penanggulangannya-326155.html. (Diakses
pada tanggal 03 Maret 2013 [10:50]).
Heyfi.
2012. Anestrus Pada Sapi, (Online). http://heyfifihindhis.blogspot.com/2012/02/blok-15-up-6-anestrus-pada-sapi.html. (Diakses
pada tanggal 03 Maret 2013 [10:50]).
Annisa
ully. 2012. Anestrus Pada Sapi Betina, (Online). http://annisa-ully.blogspot.com/2011/02/anestrus-pada-sapi-betina-karena.html. (Diakses
pada tanggal 03 Maret 2013 [10:50]).
0 komentar:
Posting Komentar