Teknologi Prosessing Semen
Pemanfaatan
teknologi sexing spermatozoa merupakan salah satu pilihan yang tepat
dalam rangka peningkatan efisiensi reproduksi ternak yang mampu meningkatkan
efisiensi usaha peternakan baik dalam skala peternakan rakyat maupun dalam
skala peternakan komersial. Salah satu sasaran dalam bidang reproduksi ternak
adalah memproduksi anak yang mempunyai jenis kelamin sesuai dengan keinginan
peternak.
Sebagai
contoh, peternak sapi perah lebih mengharapkan sapi betina dari suatu kelahiran
daripada sapi jantan, sebaliknya peternak sapi potong lebih mengharapkan
kelahiran sapi jantan dari pada sapi betina. Berbagai penelitian yang telah
dilakukan untuk mengontrol jenis kelamin anak ternak dari suatu kelahiran agar
sesuai dengan keinginan peternak. Penelitian dimulai dengan pengkondisian
saluran reproduksi ternak betina agar lingkungan itu menjadi lebih baik bagi
spermatozoa X daripada spermatozoa Y atau sebaliknya. Selanjutnya pemisahan
spermatozoa X dan spermatozoa Y sebelum dilakukan IB atau IVF (In Vitro Fertilization).
Keberadaan
spermatozoa dalam proses pembentukan jenis kelamin pada kebanyakan makhluk
hidup khususnya mamalia, mempunyai arti penting, karena spermatozoa menentukan
jenis kelamin seekor ternak. Proses ini melibatkan penggabungan antara kromosom
seks yang dibawa oleh spermatozoa dan kromosom seks yang dibawa oleh ovum (sel
telur). Berdasarkan kromosom seks yang dibawanya, spermatozoa pada mamalia
dapat dibedakan atas spermatozoa pembawa kromosom X (spermatozoa X) dan spermatozoa
pembawa kromosom Y (spermatozoa Y).
Dalam
suatu perkawinan, apabila spermatozoa Y yang berhasil membuahi telur, anak yang
akan dilahirkan adalah jantan, dengan komposisi kromosom secara normal yaitu
XY. Hal ini terjadi karena dalam proses pembentukan jenis kelamin, spermatozoa
Y yang mengandung gen Testis Determining Factor (tidak dimiliki oleh
spermatozoa X) akan mengarahkan pertumbuhan gonad primordial untuk
membentuk testes. Selanjutnya, testes (sel-sel Sertoli) akan
menghasilkan hormon Anti Mullerian Duct factor yang dapat
meregresi pertumbuhan Mullerian duct, sehingga saluran reproduksi betina
(oviduct, uterus, cervix dan vagina) tidak terbentuk. Selain itu,
testes (sel-sel Leydig) juga mensekresikan hormon testosteron yang
menyebabkan maskulinisasi pada foetus dan membantu dalam proses
pembentukan penis dan scrotum serta merangsang pertumbuhan Wollfian
duct untuk membentuk epididymus, vas deferens, dan seminal
vesicle. Sebaliknya jika spermatozoa X yang berhasil membuahi sel telur,
maka akan dilahirkan anak betina dengan komposisi kromosom yang normal,
yaitu XX.
Ketidakhadiran
gen testes determining factor akan menyebabkan gonad primordial berubah
menjadi ovarium. Selanjutnya ovarium (sel-sel granulosa dan sel-sel
theca) akan mensekresesikan hormon estrogen yang merangsang
pertumbuhan Mullerian duct untuk membentuk saluran reproduksi betina
(Gilbert, 1988 dalam Saili dkk., 1998).
Pemisahan
Spermatozoa
Beberapa
metode pemisahan spermatozoa yang dapat dilakukan adalah menggunakan kolom
albumin, kecepatan sedimentasi, sentrifugasi dengan gradient densitas
percoll, motilitas dan pemisahan elektroforesis, isoelectric
focusing, teknik manipulasi hormonal, H-Y antigen, flow sorting,
dan metode penyaringan menggunakan kolom Sephadex. Metode yang dianggap
paling valid diantara beberapa metode tersebut adalah metode kolom albumin dan
metode penyaringan menggunakan kolom Shepadex (Saili dkk., 1998).
Perbedaan
potensial antara spermatozoa X dan Y adalah kandungan DNA, sensitivitas pH dan
perbedaan morphologi kepala serta motilitas. Perbedaan yang utama adalah
kontribusi dari kromosom seksnya, yaitu spermatozoa X mengandung kromatin lebih
banyak pada inti spermatozoa yang terdapat dalam kepalanya, sehingga ukuran
kepala spermatozoa X lebih besar. Spermatozoa Y ukuran kepalanya kepalanya
lebih kecil, lebih ringan dan lebih pendek dibandingkan spermatozoa X, sehingga
spermatozoa Y lebih cepat dan lebih banyak bergerak serta kemungkinan
mengandung materi genetik dan DNA lebih sedikit dibandingkan dengan spermatozoa
X.
Pemisahan
Spermatozoa dengan Metode Kolom Bovine Serum Albumin (BSA). Pemisahan
spermatozoa X dan Y dengan menggunakan metode kolom yang mengandung larutan BSA
didasarkan pada perbedaan motilitas (kecepatan pergerakan) antara
spermatozoa X dan Y dalam menembus larutan yang mengandung BSA.
Pemisahan
spermatozoa dilakukan dengan cara memasukan sampel semen ke dalam kolom yang
berisi larutan BSA. Kolom yang digunakan dilengkapi dengan kran pada
masing-masing bagian (atas dan bawah) untuk memudahkan pengambilan semen pada
setiap bagian proses pemisahan. Sedangkan larutan BSA yang digunakan mengandung
campuran Tris (hydroxy-methyl aminomethan), asam sitrat, fruktosa, BSA
dan aquades. Sampel semen dibiarkan selama kurang lebih dua jam untuk
mengendap. Pada proses ini diharapkan spermatozoa Y akan bergerak lebih cepat
menembus larutan BSA, karena memiliki bentuk dan ukuran yang lebih kecil dan
kandungan DNA nya lebih sedikit dibanding spermatozoa X. Selanjutnya semen
bagian bawah dan atas diambil dengan cara memutar kran pada masing-masing
bagian dan ditampung dengan menggunakan tabung sentrifuge. Sentrifuge
masing-masing bagian semen pada kecepatan 2.800 – 3.200 rpm selama 15
menit untuk mendapatkan endapan semen yang bersih, sedangkan supernatannya
dibuang. Endapan semen tersebut selanjutnya diencerkan kembali dengan
menggunakan jenis pengencer awal, kemudian disentrifugasi untuk mendapatkan
endapan semen yang lebih bersih. Hasil sentrifugasi selanjutnya diencerkan
dengan menggunakan pengencer yang mengandung Tris, glukosa, asam sitrat, kuning
telur, dan aquades dengan perbandingan sama 1 : 1.
Tabel:
Gambaran Perbedaan Spermatozoa X dan Y
Karakteristik
|
Sperma X
|
Sperma Y
|
Bentuk
|
Lebih
bulat
|
Lebih
ramping
|
Ukuran
|
3%
lebih gemuk
|
Lebih
kurus
|
Gerak
|
Lebih
lambat
|
Lebih
cepat
|
Umur
|
Lebih
lama
|
±
24 jam
|
Ukuran
kromosom
|
Lebih
besar
|
Lebih
kecil
|
Pemisahan Spermatozoa
Pemisahan spermatozoa
adalah upaya untuk mengubah perolehan spermatozoa yang berkromosom jenis X atau Y dengan metode tertentu, sehingga
berubah dari proporsi normal (rasio alamiah), 50% : 50%. Secara umum, proporsi perbandingan
spermatozoa X dan Y dalam satu ejakulat semen adalah seimbang (50 : 50).
Dengan tehknik sexing maka komposisi tersebut dapat
dimodifikasi sexing spermatozoa X dan Y didasarkan atas perbedaan karakteristik
yang dimiliki oleh masing-masing jenis spermatozoa antara lain kandungan DNA. Ukuran spermatozoa, motilitas, muatan permukaan serta fluoresensi kromosom.
Spermatozoa Xmengandung kromatin lebih banyak daripada sperma Y sehingga ukuran
kepalanya lebih besar daripada
spermatozoa Y (Hafez, 2000), selain itu spermatozoa X mengandung DNA 3,8% lebih banyak dari pada Y (Garner dan Seidel, 2000).seperti hanya menurut Saili et al (1999)
bahwa perbedaan potensial spermatozoa X da Y adalah kandungan DNA, sensitivitas
pH dan perbedaan morfologi kepala serta motilitas.
Perbedaan
yang utama adalah kontribusi dari kromosom seksnya, yaitu spermatozoa X
mengandung kromatin lebih banyak pada inti spermatozoa yang terdapat dalam
kepalanya, sehingga ukuran kepala spermatozoa X lebih besar. Spermatozoa Y
ukuran kepalanya lebih kecil, lebih ringan dan lebih pendek dibandingkan
spermatozoa X, sehingga spermatozoa Y lebih cepat dan llebih banyak bergerak
serta kemungkinan mengandung materi genetic dan DNA lebih sedikit dibandingkan
spermatozoa X
Beberapa metode pemisahan
spermatozoa yang dapat dilakukan adalah menggunakan kolom albumin, kecepatan
sedimentasi, sentrifugasi dengan gradient densitas percoll, motilitas dan
pemisahan elektroforesis, isoelectric focusing, teknik
manipulasi hormonal, H-Y antigen, flow sorting, dan metode penyaringan
menggunakan kolom Sephadex.
Metode yang dianggap paling valid diantara beberapa metode tersebut adalah
metode kolom albumin dan metode penyaringan menggunakan kolom Shepadex
(Saili dkk., 1998).
Prinsip pemisahan spermatozoa dengan serum albumin
(bovine serum albumin atau human serum albumin) adalah didasarkan pada
kecepatan motilitas spermatozoa, dimana spermatozoa yang mempunyai motilitas
tinggi atau spermatozoa pembawa kromosom Y akan lebih awal menembus media
pemisah albumin yang lebih pekat (Maxwell et al., 1984). Putih telur dari telur
ayam dapat digunakan sebagai albumin alternatif pengganti BSA (bovine serum
albumin) dalam proses pemisahan spermatozoa dan dianggap cukup layak untuk
digunakan.
Pemisahan spermatozoa dengan menggunakan kolom albumin
dari putih telur ayam kampung telah dilakukan oleh Saili (1999) dan metode ini
mudah sekali diterapkan di lapang karena putih telur mudah diperoleh dan terjangkau.
Kombinasi medium pemisah yang digunakan adalah konsentrasi 10 persen albumin
telur pada lapisan atas dan 30 persen pada lapisan bawah. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan, konsentrasi albumin 10 persen dan 30 persen mampu
mengubah proporsi perolehan spermatozoa dari kondisi alamiah. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Pancahastana (1999) menunjukkan bahwa pemisahan spermatozoa
dengan putih telur diperoleh rata-rata persentase spermatozoa Y pada lapisan
atas adalah 36,80 ± 8,06 dan untuk lapisan bawah yaitu 77,20 ± 4,09.
Tahap Pemisahan Spermaozoa dengan putih telur
Sebelum dilakukan proses pemisahan spermatozoa
terlebih dahulu dilakukan penampungan dan pemeriksaan kualitas semen segar
pejantan sapi PO (bergigi seri tetap I-2, bobot badan 530 kg) yang meliputi
volume, warna, konsistensi, pH, gerakan massa, motilitas, persentase
spermatozoa hidup, konsentrasi spermatozoa dengan hasil sesuai standar untuk
proses pembuatan semen cair yaitu motilitas >70%, gerakan massa > ++,
sperma hidup > 70%, konsentrasi sperma > 500 (juta/ml).
Selanjutnya dilakukan proses pemisahan spermatozoa
sebagai berikut:
1. Membuat larutan putih
telur dengan konsentrasi 30 dan 10%.
2. Memasukkan larutan putih
telur (konsentrasi 30 dan 10%) masing-masing sebanyak 2 ml ke dalam tabung
reaksi (dimulai dari konsentrasi 30% kemudian 10%, secara perlahan melalui
dinding tabung.
3. Membuat larutan pengencer
tris aminomethan kuning telur 10%.
4. Membuat pengenceran semen
segar dengan perbandingan pengencer dan semen 2 : 3.
5. Semen yang telah diencerkan
dimasukkan sebanyak 2 ml ke dalam tabung yang berisi 2 lapisan putih telur
melalui dinding tabung; lalu diinkubasikan selama 20 menit pada suhu kamar.
6. Pengambilan lapisan bagian
atas sebanyak 2 ml; lapisan bagian bawah sebanyak 2 ml; masing-masing
dimasukkan dalam tabung yang berisi 3 ml pengencer.
7. Memasukkan tabung yang
berisi lapisan atas dan bawah ke dalam centrifuge dan diputar selama 5 menit
dengan kecepatan 1500 rpm.
8. Supernatannya dibuang
sebanyak 3 ml dan disisakan 2 ml kemudian diuji kualitasnya dan diidentifikasi
spermatozoa X dan Y (berdasarkan ukuran besar kepala spermatozoa).
9. Setelah diketahui
konsentrasi dari masing-masing lapisan (atas dan bawah), maka dilakukan
penghitungan jumlah volume pengencer yang harus ditambahkan.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Gradient Albumin
Teknologi yang dapat
dengan mudah diaplikasikan antara lain teknologi pemisahan dengan menggunakan
serum albumin dan sephadex (Beernink, 1985). Namun, teknologi pemisahan ini
masih belum optimum karena disamping menggunakan zat kimia yang cukup mahal,
pemutaran sperma, sedikitnya volume yang digunakan dan juga diperlukan waktu
yang lama, mengakibatkan motilitas sperma menjadi rendah.
Putih telur dari telur
ayam dapat digunakan sebagai albumin alternatif pengganti BSA (bovine serum
albumin) dalam proses pemisahan spermatozoa dan dianggap cukup layak untuk
digunakan. Selain mudah terjangkau dan murah, putih telur juga cukup efektif
memisahkan spermatozoa X dan Y (SailI, 1999). Senyawa metilxantina, seperti
kafeina, theophylline dan IMX (3-isobutil-1-metilxantina) merupakan zat kimia
yang mempunyai fungsi sebagai inhibitor phospho diest erase (PDE) dalam rantai cAMP. Inhibitor tersebut banyak
digunakan dalam upaya meningkatkan motilitas dan velocity/kecepatan serta
mempertahankan.
Seleksi jenis kelamin dengan menggunakan albumen
(putih telur) merupakan metode yang mudah diaplikasikan di lapang. Selain mudah
pelaksanaannya juga bahannya mudah diperoleh dan murah harganya. Hasil
penelitian Pamungkas et al. (2003) menyatakan bahwa pemisahan kromosom X
dan Y dengan menggunakan medium gradien putih telur pada imbangan tris buffer :
semen = 1 : 0,5 menunjukkan hasil motilitas lebih dari 40% dan mampu bertahan
hingga 6 hari pada suhu 5°C dengan fraksi atas menunjukkan motilitas 53,75%.
Susilawati (2002a) melaporkan bahwa penggunaan putih telur cukup efektif
sebagai bahan pemisahan spermatozoa X dan Y dengan menghasilkan spermatozoa Y
proporsi bawah sebesar 75,8 ± 13%; demikian pula hasil pemisahan spermatozoa
dengan menggunakan gradien putih telur yang di IB-kan pada sapi PO memperoleh
kebuntingan 40% (Susilawati, 2002).
Jadi, walaupun teknologi pemisahan sperma dengan
metode kolom albumin merupakan metode yang murah dan mudah dilakukan, namun
keberhasilan pemisahan sperma ini belum optimum karena volume yang digunakan,
perlakuan sentrifugasi dan penambahan putih telur sebagai media pemisahan dapat
mempengaruhi viabilitas spermatozoa.
0 komentar:
Posting Komentar