Peranan
HMT Pada Lahan Kritis dan Marginal
OLEH
:
AGIS
CAHYONO. W
L1A1
11 025
JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hijauan makanan ternak
merupakan salah satu bahan pakan ternak rumansia. Secara umum bahan pakan
adalah segala sesuatu yang dapat dimakan oleh hewan atau ternak, dapat dicerna
sebagian atau seluruhnya tanpa mengganggu kesehatan ternak yang memakannya
(TILLMAN et al., 1983). Menurut HARIS et al.,dan MC DOWELL et al., dalam UTOMO (1999)
mengemukakan bahwa pakan ternak berdasarkan sifat karakteristik fisik dan
kimia, serta penggunaannya secara internasional dibagi menjadi delapan kelas
yaitu: 1) pasture, tanaman padangan, atau tanaman pakan ternak yang sengaja
ditanam untuk diberikan pada ternak dalam keadaan segar, 2) hijauan kering dan
jerami, 3) silase hijauan, 4) bahan pakan sumber energi dari biji-bijian atau
hasil samping penggilingan, 5) sumber protein yang berasal dari hewan,
bijibijian, bungkil, 6) sumber mineral, 7) sumber vitamin dan 8) aditif.
Hijauan pakan atau
pasture pada perusahaan ternak bersekala menengah keatas dengan jumlah ternak
diatas 100 ekor, diperoleh dari hasil tanam sendiri yang ditanam pada areal
khusus untuk budidaya tanaman pakan, seperti rumput–rumputan atau leguminosa.
Tetapi pada peternakan rakyat yang hanya memelihara sapi antara 1–5 ekor setiap
peternak, sebagian besar hijauan pakan diperoleh dari hasil mencari di
tempat-tempat umum atau dari limbah pertanian. Budidaya rumput atau legum di
peternakan rakyat hanya dilakukan pada lahan-lahan sisa atau pematang–pematang
yang tidak mungkin dapat ditanami tanaman pangan. Di lahan persawahan Kabupaten
Tuban penanaman rumput pakan ternak di tanam di pematangpematang sawah dan di
“piyaman” yaitu sudutsudut sawah atau kebun yang tidak ditanami dengan tanaman
pangan (SUPRIADI et al., 2001).
Peternak di lahan
kering umumnya melakukan budidaya tanaman pakan hanya sebagai tanaman penguat
teras atau hanya ditanam di pematang. Pada kondisi lahan kering yang umumnya
berlereng dan rawan erosi, penanaman hijauan pakan bukan sematamata untuk
menghasilkan hijauan, tetapi juga dimaksudkan untuk mengstabilkan teras dan mencegah
erosi. Beberapa hasil penelitian di daerah aliran sungai menunjukkan bahwa
usaha pemenuhan hijauan pakan dengan penanaman rumput di bibir teras sebagai
upaya pemeliharaan teras ternyata berdampak positif terhadap sistem produksi
pakan ternak (SUBIHARTA et al., 1989) selain dapat menekan erosi hingga 86,7%
(SEMBIRING et al., 1990), sehingga tanaman pakan ini diharapkan dapat
dwifungsi, atau dapat memberikan tambahan lain selain hijauan pakan.
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari pembuatan
makalah ini yaitu untuk mengetahui peranan hijauan makanan ternak pada lahan
kritis.
Adapun manfaat dari
pembuatan makalah ini yaitu agar mahasiswa dapat mengetahui peranan hijauan
makanan ternak pada lahan kritis.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Lahan Kering
Istilah lahan kering digunakan oleh
Kelompok Penelitian Agroekosistem (KEPAS, 1986) sebagai padanan dry land. Uraiannya menyiratkan
pengusahaan lahan secara tadah hujan. Untuk menghilangkan kerancuan penggunaan
istilah lahan kering dan pertanian lahan kering, perlu dibedakan pengertian
yang didasarkan:
1. Keadaan iklim yang kering dalam arti
istilah Inggris arid land menurut
salah satu takrifnya: (a) daerah dengan curah hujan tahunan kurang daripada 250
mm, (b) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk menghidupi vegetasi
sedikitpun, (c) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk memapankan
pertanian tanpa irigasi, atau (d) daerah dengan jumlah evaporasi potensial
melebihi jumlah curahan (precipitation) aktual (Monkhouse & Small, 1978).
2. Keadaan lahan yang berkaitan dengan
pengatusan alamiah lancar (bukan rawa, dataran banjir, lahan dengan air tanah
dangkal, dan lahan basa alamiah lain).
3. Lahan pertanaman yang diusahakan
tanpa penggenangan.
Untuk kondisi yang pertama dapat
digunakan istilah “daerah kering” atau “kawasan iklim kering”. Sementara pada
kondisi yang kedua dapat dipilih istilah lahan atasan (upland). Kondisi yang ketiga dapat diterapkan istilah “lahan
kering”. Jadi, pertanian lahan kering ialah pertanian yang diusahakan tanpa
penggenangan lahan garapan. Maka padi sawah dan perikanan kolam (air tawar dan
tambak) tidak termasuk, akan tetapi padi gogo, palawija, perumputan pakan,
perkebunan dan pekarangan termasuk pertanian lahan kering. Ini berarti bahwa
irigasi tetap dapat diberikan, asal tidak dimaksudkan untuk menggenangi lahan.
B. Tanah Mineral Masam dan Penyebarannya
Tanah mineral masam banyak dijumpai
di wilayah beriklim tropika basah, termasuk Indonesia. Luas areal tanah
bereaksi asam seperti podsolik, ultisol, oxisols dan spodosol, masing-masing
sekitar 47,5, 18,4, 5,0 dan 56,4 juta ha atau seluruhnya sekitar 67% dari luas
total tanah di Indonesia (Nursyamsi et al, 1996).
Keasaman tanah ditentukan oleh kadar
atau kepekatan ion hidrogen di dalarn tanah tersebut. Bila kepekatan ion
hidrogen di dalam tanah terlalu tinggi maka tanah akan bereaksi asam.
Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terIalu rendah maka tanah akan bereaksi
basa. Pada kondisi ini kadar kation OH‑ lebih tinggi dari ion H+.
Tanah masam adalah tanah dengan pH rendah karena kandungan H+ yang
tinggi. Pada tanah masam lahan kering banyak ditemukan ion Al3+ yang
bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan H+.
Dalarn keadaan tertentu, yaitu apabila tercapai kejenuhan ion Al3+
tertentu, terdapat juga ion Al-hidroksida ,dengan demikian dapat menimbulkan
variasi kemasaman tanah (Yulianti, 2007). Terdapat dua jenis reaksi tanah atau
kemasaman tanah, yakni kemasaman (reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi
tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam
larutan tanah. Reaksi tanah inilah yang diukur pada pemakaiannya sehari‑hari.
Reaksi tanah potensial ialah banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang
terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun yang terdapat dalam larutan
(Hanafiah, 2007). Selanjutnya dijelaskan juga oleh Hanafiah (2007) bahwa
sejumlah senyawa menyumbang pada pengembangan reaksi tanah yang asam atau basa.
Asam‑asam organik dan anorganik, yang dihasilkan oleh penguraian bahan organik
tanah , merupakan konstituen tanah yang umum dapat mempengaruhi kemasaman
tanah. Respirasi akar tanaman menghasilkan C02 yang akan membentuk H2CO3
dalam air. Air merupakan sumber lain dari sejumlah kecil ion H+.
Jenis tanah masam diantaranya
terdapat pada tanah ordo Ultisol. Ultisol dibentuk oleh proses pelapukan dan
pembentukan tanah yang sangat intensif karena berlangsung dalam lingkungan
iklim tropika dan subtropika yang bersuhu panas dan bercurah hujan tinggi
dengan vegetasi klimaksnya hutan rimba. Dalam lingkungan semacam ini reaksi
hidrolisis dan asidolisis serta proses pelindian (leaching) terpacu sangat
cepat dan kuat. Asidolisis berlangsung kuat karena air infiltrasi dan perkolasi
mengambil CO2 hasil mineralisasi bahan organik berupa serasah hutan
dan hasil pernafasan akar tumbuhan hutan. Pelapukan masam tanah membebaskan
basa dari mineral tanah secara cepat apabila didukung dengan daya lindi yang
kuat maka akan terbentuk tanah yang miskin hara dan Al, Fe, serta Mn yang
tinggi dapat meracuni tanaman. Persoalan akan bertambah berat jika bahan induk
tanah sudah bersifat masam kondisi inilah yang dijumpai di Sumatera. Tanah
ultisol memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
pH
rendah
· 2.
Kejenuhan
Al, Fe danMn tinggi
· 3. Daya
jerap terhadap fosfat kuat
· 4. Kejenuhan
basa rendah ; kadar Cu rendah dalam tanah yang berasal dari bahan induk masam
(feksil) atau batuan pasir, Zn cukup namun tereluviasi.
· 5.
Kadar
bahan organik rendah dan kadar N rendah
· 6. Daya
simpan air terbatas
·
7. Kedalaman
efektif terbatas
·
8. Derajat
agregasi rendah dan kemantapan agregat lemah baik pada lahan berlereng maupun
datar.
C. Tinjauan Umum Kesuburan Tanah
Sebagai sumberdaya alam untuk
budidaya tanaman, tanah mempunyai dua fungsi, yaitu : (1) sebagai sumber
penyedia unsur hara dan air, dan (2) tempat akar berjangkar. Salah satu atau
kedua fungsi ini dapat menurun, bahkan hilang.
Hilangnya fungsi inilah yang menyebabkan produktivitas tanah menurun menjadi Tanah Marginal. Dengan demikian, Tanah Marginal untuk budidaya tanaman merupakan tanah yang mempunyai sifat-sifat fisika, kimia, dan biologi yang tidak optimal untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman.
Hilangnya fungsi inilah yang menyebabkan produktivitas tanah menurun menjadi Tanah Marginal. Dengan demikian, Tanah Marginal untuk budidaya tanaman merupakan tanah yang mempunyai sifat-sifat fisika, kimia, dan biologi yang tidak optimal untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman.
Tanah Marginal dapat terbentuk
secara alami dan antropogenik (ulah manusia). Secara alami (pengaruh
lingkungan) yang disebabkan proses pembentukan tanah terhambat atau tanah yang
terbentuk tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Misalnya, bahan induk yang
keras dan asam, kekurangan air, suhu yang dingin/membeku, tergenang dan
akumulasi bahan gambut, fraksi tanah yang dihasilkan didominasi oleh pasir,
pengaruh salinisasi/penggaraman.
Tanah Marginal yang dimaksudkan
adalah tanah yang terbentuk secara alami, bukan tanah yang menjadi marginal
karena antropogenik. Dari 12 ordo tanah di dunia (Alfisols, Andisols,
Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols, Mollisols, Oxisols,
Spodosols, Ultisol, dan Vertisols) yang tergolong Tanah Marginal antara lain
adalah : Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols, dan Ultisols.
Secara antropogenik adalah karena ulah manusia yang memanfaatkan sumberdaya
alam yang tidak terkendali, sehingga terjadi kerusakan ekosistem. Misalnya,
deforestasi dan degradasi hutan, eksploitasi deposit bahan tambang,
terungkapnya unsur atau senyawa beracun bagi tanaman, pengeringan ekstrem pada
tanah gambut, serta kebakaran. Deforestasi dan degradasi hutan menyebabkan
terjadinya erosi yang dipercepat dan punahnya organisme yang berperan dalam
pembentukan tanah . Aliran permukaan yang berasal dari curah hujan akan
mengikis lapisan permukaan yang merupakan bagian tersubur dari tanah. Fraksi
tanah yang dahulu diangkut adalah yang halus dan ringan yaitu liat dan humus.
Kedua fraksi ini sangat berperan dalam menentukan kesuburan tanah, karena
merupakan kompleks petukaran ion dan penahan unsur hara. Dalam sedimen yang
terangkut pada peristiwa erosi terdapat juga berbagai unsur hara dan bahan
organik. Oleh karena itu, tanah yang mengalami erosi akan menurun
produktivitasnya menjadi tanah marginal yang kalau erosi selanjutnya tidak
dikendalikan, tanah tersebut akan menjadi lahan kritis.
D. Pengelolaan Lahan dan Teknik
Konservasi
Degradasi lahan
diartikan sebagai suatu penurunan produksi lahan, baik kualitatif maupun kuantitatif,
sebagai akibat berbagai proses seperti erosi, salinasi,
pencucian hara tanaman, pengrusakan struktur tanah dan polusi. Di lahan
kering beriklim basah
yang topografinya bervariasi dari datar sampai bergunung, erosi telah
merupakan salah satu penyebab degradasi lahan yang dominan. Selanjutnya,
pencucian (leaching), akumulasi unsur-unsur beracun (toxic) dan polusi
yang diakibatkan pemberian pestisida
yang tidak terkendali dapat menyebabkan degradasi lahan. Pada lahan kering
beriklim kering, sering terjadi pembukaan lahan didaerah hulu DAS yang tidak terkendali menyebabkan
erosi dan rusaknya fungsi
hidrologi. Sebenarnya penyebab
degradasi lahan yang mendasar adalah kesalahan dalam pengelolaan.
Untuk mencapai
keberhasilan penanaman hijauan makan ternak dilahan kering perlu memperhatikan beberapa faktor yang mendukung
peningkatan produksi serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses degradasi lahan. Peningkatan produksi dilahan kering dapat dicapai melalui cara budidaya
tanaman yang tepat seperti diversifikasi
tanaman (multiple cropping), penggunaan varietas unggul, pengolahan tanah yang
tepat, pola tanam sesuai ekosistem, pemupukan, pengelolaan air, pengendalian
hama terpadu, pengendalian gulma, serta upaya konservasi tanah dan air.
Diversifikasi
Tanaman
Diversifikasi tanaman
merupakan salah satu strategi penting dalam usahatani pada lahan kering. Kombinasi berbagai
komoditas tanaman pangan, tanaman
tahunan dan pemeliharaan ternak
dinilai dapat menjamin produktifitas dan keberlanjutan usaha tani. Pada lahan
kering masam (lahan kering beriklim basah), kandungan bahan organik pada podsolik merah kuning
dapat dipertahankan dengan menerapkan daur ulang, yaitu pemanfaatan pupuk
kandang dan limbah pertanian (Partohadjono et al., 1993 dalam Soepandi dan
Utomo, 1995). Budidaya lorong (alley cropping)
dengan menggunakan leguminosa sebagai tanaman pagar (misalnya lamtoro)
dinilai mampu meningkatkan keberadaan
bahan organik tanah. Pada lahan kering didaerah
beriklim kering, pengembangan usaha tani diarahkan untuk memanfaatkan
lahan datar dipelembahan, dengan kendala
populasi gulma yang tinggi. Pada kondisi
demikian tampaknya sistem tumpang sari dan introduksi tanaman tahunan
cukup memberikan harapan. Keberhasilan dari pola pertanaman multiple croppingini
tampaknya dikaitkan pada dua keuntungan, yaitu pemanfaatan ruang kosong secara
optimal dan cepatnya penutupan tanah oleh vegetasi yang memperkecil laju erosi.
Pola
Tanam Berdasarkan Ekosistem
Dengan adanya perbedaan
karakteristik ekosistem antara lahan kering
beriklim basah dengan lahan kering beriklim kering, maka pola tanam
tentunya akan berbeda. Pada lahan kering beriklim basah, curah hujan merata
sepanjang tahun, maka dapat dipilih komoditi tanaman sela yang dapat menutup
tanah sepanjang tahun seperti jagung dan kacangkacangan. Urutan penanamannya
diatur secara tumpang sari.
Pengolahan
Tanah
Dengan ciri lapisan bahan organik yang tipis pada
kebanyakan lahan kering, maka yang diperlukan ialah tindakan yang sekecil
mungkin yang menyebabkan gangguan di
permukaan tanah. Teknik tanpa olah tanah (TOT) atau pengolahan tanah
minimum diikuti dengan perlakuan herbisida yang terkendali serta
pemberian mulsa dapat dilakukan pada
lahan kering. Pemberian pupuk N yang memadai dapatmembantu dalam
mempercepat dekomposisi gulma
yang mati oleh
herbisida. Herbisida yang diberikan harus selektif, dimana kehidupan mikroorganisme tanah yang berguna tetap terpelihara
kelestariannya. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pemberian herbisida glisofat padateknik TOT tidak mengganggu
perkembangan organisme tanah.
Pemberian
Mulsa
Pemanfaatan sisa
tanaman sebagai mulsa cukup efektif untuk mempertahankan kadar bahan organik
tanah dan produktivitas lahan (Kurnia dan Suwardjo, 1989 dalam Soepandi dan
Utomo, 1995). Selain sisa tanaman, bahan
mulsa dapat diperoleh dengan sistem tanaman lorong dengan tanaman legum
yang dipangkas secara berkala. Efektifitas penggunaan mulsa dalam mengurangi
erosi masih terlihat pada lahan dengan
kemiringan sampai 15%.
Pemupukan
Pemberian pupuk perlu
disesuai dengan kesuburan tanah. Pupuk urea, TSP, dan KCl diberikan untuk
meningkatkan kesuburan tanah.
Konservasi
Lahan
Karena besarnya variasi
lingkungan lahan kering, maka teknologi yang
diperlukan juga bervariasi sesuai kondisi setempat. Pada lahan dengan
kemiringan lebih dari 15%, pembuatan teras (bangku, kredit, atau gulud) dengan
penanaman rumput perlu dipertimbangkan.
Pada pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bertujuan optimal sebaiknya dikaitkan dengan
beberapa upaya pokok antara lain : (a)
pengolahan lahan yang berlandaskan kaidah konservasi tanah dan air dalam
arti luas, (b) pendayagunaan sumberdaya air dan iklim
secara optimal, (c) pengelolaan vegetasi
hutan, pangan dan pakan, (d) pembinaan sumber daya manusia secara bijaksana, dan (e) pemilihan komoditi sesuai
agroekologi (Abas et al., 1989 dalam
Soepandi dan Utomo, 1995).
Konservasi air dapat
ditentukan melalui cara-cara yang dapat
mengendalikan evaporasim transpirasi,
dan aliran permukaan. Pada lahan kering, teknik konservasi air yang penting meliputi pengendalian aliran permukaan,
penyadapan/pemanenan air, meningkatkan
kapasitas infiltrasi tanah, pengolahan tanah minimum dan beberapa upaya pengelolaan air tanah. Pada
hakekatnya beberapa tindakan konservasi
tanah adalah merupakan tindakan konservasi air.
Tanaman
Pakan Penambat Nitrogen
Hampir tidak ada
tanaman dapat bertumbuh tanpa adanya nitrogen (N) dan kebanyakan tanah didaerah tropis telah diketahui memiliki cadangan N
rendah. Namun, tidak demikian
halnya dengan tanaman penambat N, mereka semata-mata tidak
tergantung dengan cadangan N dalam tanah tetapi mereka mampu menambatnya melalui simbiosis dengan mikroba
tanah. Oleh karena itu beberapa spesies
tanaman penambat N menjadi penting bagi kelangsungan hidup keluarga pedesaan
didaerah tropis sebagai penyedia berbagai produk dan jasa. Roshetko (2001)
dalam Karda dan Spudiati (2012) melaporkan berbagai fungsi tanaman
penambat N antara lain sebagai
sumber kayu api dan arang, pakan, penyubur tanah, kayu bangunan dan sebagai
pangan untuk manusia.
Dengan demikian tanaman
panambat N sangat ideal digunakan sebagai
tanaman integrasi dalam sistem
pertanian terpadu. Hal ini disebabkan oleh beberapa sifat-sifat yang menguntungkan seperti 1)
memiliki tajuk kecil dan tipis sehingga rawang sinar matahari, 2) mampu
bertunas kembali dengan cepat setelah pemangkasan, 3) memiliki sistem perakaran
yang dalam dengan sedikit
percabangan akar lateral dekat
permukaan tanah agar tidak bersaing dengan akar tanaman pertanian, 4) guguran daun dapat
terdekomposisi dalam jumlah tertentu yang dapat menghasilkan unsur hara pada
saat unsur hara tersebut diperlukan dalam daur tanaman pertanian, 5) mampu
mengikat N dari udara dan juga dapat menghasilkan kayu,
pakan ternak, obat-obtan dan hasil-hasil lainnya, 6) dapat tumbuh dengan
baik pada lahan dengan keterbatasan-keterbatasan
tertentu seperti keasaman tanah,
kekeringan, penggenangan air, angin keras, hama serangga dan lain-lain
(Lahjie, 2001 dalam Karda dan Spudiati, 2012).
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa lahan kering merupakan salah satu sumberdaya
lahan yang potensial. Karekteristik tanah mineral masam adalah pH rendah ,
bahan organik rendah dan kahat unsur hara makro maupun mikro serta tingginya
kandungan Al dan Fe.
Untuk
mencapai keberhasilan penanaman hijauan makan ternak dilahan kering perlu memperhatikan beberapa faktor yang mendukung
peningkatan produksi serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses degradasi lahan.
DAFTAR
PUSTAKA
KEPAS. 1986. Agro-ecosistem daerah
kering di Nusa Tenggara Timur. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jakarta. xxviii + 119 h.
Nursyamsi, D. 2006. Kebutuhan hara
kalium tanaman kedelai di tanah ultisol. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 6(2)
: 71-81.
Hanafiah,AK. 2007. Dasar Dasar Ilmu
Tanah. Edisi 2. Raja Gravindo Persada.Jakarta . pp 139-165.
Karda, I.W. dan Spudiati. 2012.
Meningkatkan Produktifitas Lahan Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pakan dan
Ternak Ruminansia. Fakultas Peternakan Universitas Mataram. ntb.litbang.deptan.go.id.
Paat, P.C. 2012. Analisis Potensi
Sumber Daya Pakan dan Kebutuhan Inovasi Ternak
Ruminansia diKabupaten Minahasa Tenggara Sulawesi Utara. Seminar
Regional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Program
Pembangunan Pertanian Provinsi Sulawesi Utara. sulut.litbang.deptan.go.id.
Sopandie, D., dan I. H.Utomo. 1995.
Pengelolaan Lahan dan Teknik Konservasi diLahan Kering. Makalah Penunjang
Diskusi Pengembangan Teknologi Tepat Guna di Lahan Kering
untuk Mendukung Pertanian Berkelanjutan. Bogor, 27 September 1995.
Yulianti, N. 2007. Reaksi Tanah
.Jurnal Hijau. 2 (5) : 23 – 43.
0 komentar:
Posting Komentar