WELCOME TO MY BLOG
| | | | |
TEGAKKAN SYARI'AH DAN KHILAFAH ISLAMIYAH

Senin, 03 Agustus 2015

Manajemen Pastura



Peranan HMT Pada Lahan Kritis dan Marginal

 
OLEH :
AGIS CAHYONO. W
L1A1 11 025




JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015



I.       PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Hijauan makanan ternak merupakan salah satu bahan pakan ternak rumansia. Secara umum bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan oleh hewan atau ternak, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya tanpa mengganggu kesehatan ternak yang memakannya (TILLMAN et al., 1983). Menurut HARIS et al.,dan MC DOWELL et al., dalam UTOMO (1999) mengemukakan bahwa pakan ternak berdasarkan sifat karakteristik fisik dan kimia, serta penggunaannya secara internasional dibagi menjadi delapan kelas yaitu: 1) pasture, tanaman padangan, atau tanaman pakan ternak yang sengaja ditanam untuk diberikan pada ternak dalam keadaan segar, 2) hijauan kering dan jerami, 3) silase hijauan, 4) bahan pakan sumber energi dari biji-bijian atau hasil samping penggilingan, 5) sumber protein yang berasal dari hewan, bijibijian, bungkil, 6) sumber mineral, 7) sumber vitamin dan 8) aditif.
Hijauan pakan atau pasture pada perusahaan ternak bersekala menengah keatas dengan jumlah ternak diatas 100 ekor, diperoleh dari hasil tanam sendiri yang ditanam pada areal khusus untuk budidaya tanaman pakan, seperti rumput–rumputan atau leguminosa. Tetapi pada peternakan rakyat yang hanya memelihara sapi antara 1–5 ekor setiap peternak, sebagian besar hijauan pakan diperoleh dari hasil mencari di tempat-tempat umum atau dari limbah pertanian. Budidaya rumput atau legum di peternakan rakyat hanya dilakukan pada lahan-lahan sisa atau pematang–pematang yang tidak mungkin dapat ditanami tanaman pangan. Di lahan persawahan Kabupaten Tuban penanaman rumput pakan ternak di tanam di pematangpematang sawah dan di “piyaman” yaitu sudutsudut sawah atau kebun yang tidak ditanami dengan tanaman pangan (SUPRIADI  et al., 2001).
Peternak di lahan kering umumnya melakukan budidaya tanaman pakan hanya sebagai tanaman penguat teras atau hanya ditanam di pematang. Pada kondisi lahan kering yang umumnya berlereng dan rawan erosi, penanaman hijauan pakan bukan sematamata untuk menghasilkan hijauan, tetapi juga dimaksudkan untuk mengstabilkan teras dan mencegah erosi. Beberapa hasil penelitian di daerah aliran sungai menunjukkan bahwa usaha pemenuhan hijauan pakan dengan penanaman rumput di bibir teras sebagai upaya pemeliharaan teras ternyata berdampak positif terhadap sistem produksi pakan ternak (SUBIHARTA et al., 1989) selain dapat menekan erosi hingga 86,7% (SEMBIRING et al., 1990), sehingga tanaman pakan ini diharapkan dapat dwifungsi, atau dapat memberikan tambahan lain selain hijauan pakan.

B.  Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui peranan hijauan makanan ternak pada lahan kritis.
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu agar mahasiswa dapat mengetahui peranan hijauan makanan ternak pada lahan kritis.




II.       PEMBAHASAN
A.    Pengertian Lahan Kering
Istilah lahan kering digunakan oleh Kelompok Penelitian Agroekosistem (KEPAS, 1986) sebagai padanan dry land. Uraiannya menyiratkan pengusahaan lahan secara tadah hujan. Untuk menghilangkan kerancuan penggunaan istilah lahan kering dan pertanian lahan kering, perlu dibedakan pengertian yang didasarkan:
1.        Keadaan iklim yang kering dalam arti istilah Inggris arid land menurut salah satu takrifnya: (a) daerah dengan curah hujan tahunan kurang daripada 250 mm, (b) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk menghidupi vegetasi sedikitpun, (c) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk memapankan pertanian tanpa irigasi, atau (d) daerah dengan jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curahan (precipitation) aktual (Monkhouse & Small, 1978).
2.        Keadaan lahan yang berkaitan dengan pengatusan alamiah lancar (bukan rawa, dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan lahan basa alamiah lain).
3.      Lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan.
Untuk kondisi yang pertama dapat digunakan istilah “daerah kering” atau “kawasan iklim kering”. Sementara pada kondisi yang kedua dapat dipilih istilah lahan atasan (upland). Kondisi yang ketiga dapat diterapkan istilah “lahan kering”. Jadi, pertanian lahan kering ialah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan lahan garapan. Maka padi sawah dan perikanan kolam (air tawar dan tambak) tidak termasuk, akan tetapi padi gogo, palawija, perumputan pakan, perkebunan dan pekarangan termasuk pertanian lahan kering. Ini berarti bahwa irigasi tetap dapat diberikan, asal tidak dimaksudkan untuk menggenangi lahan.
    B.  Tanah Mineral Masam dan Penyebarannya
Tanah mineral masam banyak dijumpai di wilayah beriklim tropika basah, termasuk Indonesia. Luas areal tanah bereaksi asam seperti podsolik, ultisol, oxisols dan spodosol, masing-masing sekitar 47,5, 18,4, 5,0 dan 56,4 juta ha atau seluruhnya sekitar 67% dari luas total tanah di Indonesia (Nursyamsi et al, 1996).
Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di dalarn tanah tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen di dalam tanah terlalu tinggi maka tanah akan bereaksi asam. Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terIalu rendah maka tanah akan bereaksi basa. Pada kondisi ini kadar kation OH lebih tinggi dari ion H+. Tanah masam adalah tanah dengan pH rendah karena kandungan H+ yang tinggi. Pada tanah masam lahan kering banyak ditemukan ion Al3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan H+. Dalarn keadaan tertentu, yaitu apabila tercapai kejenuhan ion Al3+ tertentu, terdapat juga ion Al-hidroksida ,dengan demikian dapat menimbulkan variasi kemasaman tanah (Yulianti, 2007). Terdapat dua jenis reaksi tanah atau kemasaman tanah, yakni kemasaman (reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah inilah yang diukur pada pemakaiannya sehari‑hari. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun yang terdapat dalam larutan (Hanafiah, 2007). Selanjutnya dijelaskan juga oleh Hanafiah (2007) bahwa sejumlah senyawa menyumbang pada pengembangan reaksi tanah yang asam atau basa. Asam‑asam organik dan anorganik, yang dihasilkan oleh penguraian bahan organik tanah , merupakan konstituen tanah yang umum dapat mempengaruhi kemasaman tanah. Respirasi akar tanaman menghasilkan C02 yang akan membentuk H2CO3 dalam air. Air merupakan sumber lain dari sejumlah kecil ion H+.
Jenis tanah masam diantaranya terdapat pada tanah ordo Ultisol. Ultisol dibentuk oleh proses pelapukan dan pembentukan tanah yang sangat intensif karena berlangsung dalam lingkungan iklim tropika dan subtropika yang bersuhu panas dan bercurah hujan tinggi dengan vegetasi klimaksnya hutan rimba. Dalam lingkungan semacam ini reaksi hidrolisis dan asidolisis serta proses pelindian (leaching) terpacu sangat cepat dan kuat. Asidolisis berlangsung kuat karena air infiltrasi dan perkolasi mengambil CO2 hasil mineralisasi bahan organik berupa serasah hutan dan hasil pernafasan akar tumbuhan hutan. Pelapukan masam tanah membebaskan basa dari mineral tanah secara cepat apabila didukung dengan daya lindi yang kuat maka akan terbentuk tanah yang miskin hara dan Al, Fe, serta Mn yang tinggi dapat meracuni tanaman. Persoalan akan bertambah berat jika bahan induk tanah sudah bersifat masam kondisi inilah yang dijumpai di Sumatera. Tanah ultisol memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 
            1. pH rendah
·          2. Kejenuhan Al, Fe danMn tinggi
·          3. Daya jerap terhadap fosfat kuat
·     4. Kejenuhan basa rendah ; kadar Cu rendah dalam tanah yang berasal dari bahan induk masam (feksil) atau batuan pasir, Zn cukup namun tereluviasi.
·          5.  Kadar bahan organik rendah dan kadar N rendah
·          6. Daya simpan air terbatas
·          7. Kedalaman efektif terbatas
·          8. Derajat agregasi rendah dan kemantapan agregat lemah baik pada lahan berlereng maupun datar.

C.   Tinjauan Umum Kesuburan Tanah
Sebagai sumberdaya alam untuk budidaya tanaman, tanah mempunyai dua fungsi, yaitu : (1) sebagai sumber penyedia unsur hara dan air, dan (2) tempat akar berjangkar. Salah satu atau kedua fungsi ini dapat menurun, bahkan hilang.
Hilangnya fungsi inilah yang menyebabkan produktivitas tanah menurun menjadi Tanah Marginal. Dengan demikian, Tanah Marginal untuk budidaya tanaman merupakan tanah yang mempunyai sifat-sifat fisika, kimia, dan biologi yang tidak optimal untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman.
Tanah Marginal dapat terbentuk secara alami dan antropogenik (ulah manusia). Secara alami (pengaruh lingkungan) yang disebabkan proses pembentukan tanah terhambat atau tanah yang terbentuk tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Misalnya, bahan induk yang keras dan asam, kekurangan air, suhu yang dingin/membeku, tergenang dan akumulasi bahan gambut, fraksi tanah yang dihasilkan didominasi oleh pasir, pengaruh salinisasi/penggaraman.
Tanah Marginal yang dimaksudkan adalah tanah yang terbentuk secara alami, bukan tanah yang menjadi marginal karena antropogenik. Dari 12 ordo tanah di dunia (Alfisols, Andisols, Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols, Mollisols, Oxisols, Spodosols, Ultisol, dan Vertisols) yang tergolong Tanah Marginal antara lain adalah : Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols, dan Ultisols. Secara antropogenik adalah karena ulah manusia yang memanfaatkan sumberdaya alam yang tidak terkendali, sehingga terjadi kerusakan ekosistem. Misalnya, deforestasi dan degradasi hutan, eksploitasi deposit bahan tambang, terungkapnya unsur atau senyawa beracun bagi tanaman, pengeringan ekstrem pada tanah gambut, serta kebakaran. Deforestasi dan degradasi hutan menyebabkan terjadinya erosi yang dipercepat dan punahnya organisme yang berperan dalam pembentukan tanah . Aliran permukaan yang berasal dari curah hujan akan mengikis lapisan permukaan yang merupakan bagian tersubur dari tanah. Fraksi tanah yang dahulu diangkut adalah yang halus dan ringan yaitu liat dan humus. Kedua fraksi ini sangat berperan dalam menentukan kesuburan tanah, karena merupakan kompleks petukaran ion dan penahan unsur hara. Dalam sedimen yang terangkut pada peristiwa erosi terdapat juga berbagai unsur hara dan bahan organik. Oleh karena itu, tanah yang mengalami erosi akan menurun produktivitasnya menjadi tanah marginal yang kalau erosi selanjutnya tidak dikendalikan, tanah tersebut akan menjadi lahan kritis.

 D.  Pengelolaan Lahan dan Teknik Konservasi
Degradasi lahan diartikan sebagai suatu penurunan produksi lahan, baik kualitatif maupun  kuantitatif,  sebagai  akibat  berbagai proses seperti erosi, salinasi, pencucian hara tanaman, pengrusakan struktur tanah dan polusi. Di lahan kering  beriklim  basah  yang topografinya bervariasi dari datar sampai bergunung, erosi telah merupakan salah satu penyebab degradasi lahan yang dominan. Selanjutnya, pencucian (leaching), akumulasi unsur-unsur beracun (toxic) dan polusi yang  diakibatkan pemberian pestisida yang tidak terkendali dapat menyebabkan degradasi lahan. Pada lahan kering beriklim kering, sering terjadi pembukaan lahan didaerah  hulu DAS yang tidak terkendali menyebabkan erosi  dan rusaknya  fungsi  hidrologi.   Sebenarnya penyebab degradasi lahan yang mendasar adalah kesalahan dalam pengelolaan.
Untuk mencapai keberhasilan penanaman hijauan makan ternak dilahan kering perlu  memperhatikan beberapa faktor yang mendukung peningkatan  produksi serta  faktor-faktor yang mempengaruhi  proses degradasi lahan. Peningkatan produksi dilahan  kering dapat dicapai melalui cara budidaya tanaman yang tepat seperti  diversifikasi tanaman (multiple cropping), penggunaan varietas unggul, pengolahan tanah yang tepat, pola tanam sesuai ekosistem, pemupukan, pengelolaan air, pengendalian hama terpadu, pengendalian gulma, serta upaya konservasi tanah dan air.

Diversifikasi Tanaman
Diversifikasi tanaman merupakan salah satu strategi penting dalam usahatani  pada lahan kering. Kombinasi berbagai komoditas tanaman pangan, tanaman  tahunan  dan pemeliharaan ternak dinilai dapat menjamin produktifitas dan keberlanjutan usaha tani. Pada lahan kering masam (lahan kering beriklim basah), kandungan  bahan organik pada podsolik merah kuning dapat dipertahankan dengan menerapkan daur ulang, yaitu pemanfaatan pupuk kandang dan limbah pertanian (Partohadjono et al., 1993 dalam Soepandi dan Utomo, 1995). Budidaya lorong (alley cropping)  dengan menggunakan leguminosa sebagai tanaman pagar (misalnya lamtoro) dinilai  mampu meningkatkan keberadaan bahan organik tanah. Pada lahan kering didaerah  beriklim kering, pengembangan usaha tani diarahkan untuk memanfaatkan lahan  datar dipelembahan, dengan kendala populasi gulma yang tinggi. Pada kondisi  demikian tampaknya sistem tumpang sari dan introduksi tanaman tahunan cukup memberikan harapan. Keberhasilan dari pola pertanaman multiple croppingini tampaknya dikaitkan pada dua keuntungan, yaitu pemanfaatan ruang kosong secara optimal dan cepatnya penutupan tanah oleh vegetasi yang memperkecil laju erosi.

Pola Tanam Berdasarkan Ekosistem
Dengan adanya perbedaan karakteristik ekosistem antara lahan kering  beriklim basah dengan lahan kering beriklim kering, maka pola tanam tentunya akan berbeda. Pada lahan kering beriklim basah, curah hujan merata sepanjang tahun, maka dapat dipilih komoditi tanaman sela yang dapat menutup tanah sepanjang tahun seperti jagung dan kacangkacangan. Urutan penanamannya diatur secara tumpang sari.

Pengolahan Tanah
Dengan  ciri lapisan bahan organik yang tipis pada kebanyakan lahan kering, maka yang diperlukan ialah tindakan yang sekecil mungkin yang menyebabkan  gangguan di permukaan tanah. Teknik tanpa olah tanah (TOT) atau pengolahan  tanah  minimum diikuti dengan perlakuan herbisida yang terkendali serta pemberian  mulsa dapat dilakukan pada lahan kering. Pemberian pupuk N yang memadai dapatmembantu dalam mempercepat  dekomposisi  gulma  yang  mati  oleh  herbisida. Herbisida yang diberikan harus selektif, dimana kehidupan  mikroorganisme  tanah yang berguna tetap terpelihara kelestariannya. Beberapa  penelitian menunjukkan bahwa pemberian herbisida glisofat padateknik TOT tidak mengganggu perkembangan organisme tanah.

Pemberian Mulsa
Pemanfaatan sisa tanaman sebagai mulsa cukup efektif untuk mempertahankan kadar bahan organik tanah dan produktivitas lahan (Kurnia dan Suwardjo, 1989 dalam Soepandi dan Utomo, 1995). Selain sisa tanaman, bahan  mulsa dapat diperoleh dengan sistem tanaman lorong dengan tanaman legum yang dipangkas secara berkala. Efektifitas penggunaan mulsa dalam mengurangi erosi  masih terlihat pada lahan dengan kemiringan sampai 15%.

Pemupukan
Pemberian pupuk perlu disesuai dengan kesuburan tanah. Pupuk urea, TSP, dan KCl diberikan untuk meningkatkan kesuburan tanah.

Konservasi Lahan
Karena besarnya variasi lingkungan lahan kering, maka teknologi yang  diperlukan juga bervariasi sesuai kondisi setempat. Pada lahan dengan kemiringan lebih dari 15%, pembuatan teras (bangku, kredit, atau gulud) dengan penanaman  rumput perlu dipertimbangkan. Pada pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang  bertujuan optimal sebaiknya dikaitkan dengan beberapa upaya pokok antara lain :  (a) pengolahan lahan yang berlandaskan kaidah konservasi tanah dan air dalam arti  luas,  (b) pendayagunaan sumberdaya air dan iklim secara optimal, (c) pengelolaan  vegetasi hutan, pangan dan pakan, (d) pembinaan sumber daya manusia secara  bijaksana, dan (e) pemilihan komoditi sesuai agroekologi (Abas et al., 1989 dalam  Soepandi dan Utomo, 1995).
Konservasi air dapat ditentukan melalui cara-cara  yang dapat mengendalikan  evaporasim transpirasi, dan aliran permukaan. Pada lahan kering, teknik konservasi  air yang penting meliputi  pengendalian aliran permukaan, penyadapan/pemanenan  air, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah, pengolahan tanah minimum dan  beberapa upaya pengelolaan air tanah. Pada hakekatnya beberapa tindakan  konservasi tanah adalah merupakan tindakan konservasi air.

Tanaman Pakan Penambat Nitrogen
Hampir tidak ada tanaman dapat bertumbuh tanpa adanya nitrogen (N) dan  kebanyakan tanah didaerah  tropis telah diketahui memiliki cadangan N rendah. Namun,  tidak  demikian  halnya  dengan  tanaman penambat N, mereka semata-mata tidak tergantung dengan cadangan N dalam tanah tetapi mereka mampu  menambatnya melalui simbiosis dengan mikroba tanah. Oleh karena itu beberapa  spesies tanaman penambat N menjadi penting bagi kelangsungan hidup keluarga pedesaan didaerah tropis sebagai penyedia berbagai produk dan jasa. Roshetko (2001) dalam Karda dan Spudiati (2012) melaporkan berbagai fungsi  tanaman  penambat N  antara lain sebagai sumber kayu api dan arang, pakan, penyubur tanah, kayu bangunan dan sebagai pangan untuk manusia.
Dengan demikian tanaman panambat N sangat ideal digunakan sebagai  tanaman  integrasi dalam sistem pertanian terpadu. Hal ini disebabkan oleh beberapa  sifat-sifat yang menguntungkan seperti 1) memiliki tajuk kecil dan tipis sehingga rawang sinar matahari, 2) mampu bertunas kembali dengan cepat setelah pemangkasan, 3) memiliki sistem perakaran yang dalam dengan sedikit  percabangan  akar lateral dekat permukaan tanah agar tidak bersaing dengan akar tanaman  pertanian, 4) guguran daun dapat terdekomposisi dalam jumlah tertentu yang dapat menghasilkan unsur hara pada saat unsur hara tersebut diperlukan dalam daur tanaman pertanian, 5) mampu mengikat N dari udara dan juga dapat menghasilkan  kayu,  pakan ternak, obat-obtan dan hasil-hasil lainnya, 6) dapat tumbuh dengan baik  pada lahan dengan keterbatasan-keterbatasan tertentu seperti keasaman tanah,  kekeringan, penggenangan air, angin keras, hama serangga dan lain-lain (Lahjie, 2001 dalam Karda dan Spudiati, 2012).



III.      PENUTUP
A.   Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa lahan kering merupakan salah satu sumberdaya lahan yang potensial. Karekteristik tanah mineral masam adalah pH rendah , bahan organik rendah dan kahat unsur hara makro maupun mikro serta tingginya kandungan Al dan Fe.
Untuk mencapai keberhasilan penanaman hijauan makan ternak dilahan kering perlu  memperhatikan beberapa faktor yang mendukung peningkatan  produksi serta  faktor-faktor yang mempengaruhi  proses degradasi lahan.



DAFTAR PUSTAKA
KEPAS. 1986. Agro-ecosistem daerah kering di Nusa Tenggara Timur. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. xxviii + 119 h.

Nursyamsi, D. 2006. Kebutuhan hara kalium tanaman kedelai di tanah ultisol. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 6(2) : 71-81.

Hanafiah,AK. 2007. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Edisi 2. Raja Gravindo Persada.Jakarta . pp 139-165.

Karda, I.W. dan Spudiati. 2012. Meningkatkan Produktifitas Lahan Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pakan dan Ternak Ruminansia. Fakultas Peternakan Universitas Mataram. ntb.litbang.deptan.go.id.

Paat, P.C. 2012. Analisis Potensi Sumber Daya Pakan dan Kebutuhan Inovasi Ternak  Ruminansia diKabupaten Minahasa Tenggara Sulawesi Utara. Seminar Regional  Inovasi  Teknologi Pertanian Mendukung Program Pembangunan Pertanian Provinsi Sulawesi Utara. sulut.litbang.deptan.go.id.

Sopandie, D., dan I. H.Utomo. 1995. Pengelolaan Lahan dan Teknik Konservasi diLahan Kering. Makalah Penunjang Diskusi Pengembangan Teknologi Tepat Guna di Lahan  Kering  untuk Mendukung Pertanian Berkelanjutan. Bogor, 27 September 1995.

Yulianti, N. 2007. Reaksi Tanah .Jurnal Hijau. 2 (5) : 23 – 43.

0 komentar:

Posting Komentar

Batman Begins - Diagonal Resize 2

iklan


animasi bergerak naruto dan onepiece