WELCOME TO MY BLOG
| | | | |
TEGAKKAN SYARI'AH DAN KHILAFAH ISLAMIYAH

Jumat, 18 Oktober 2013

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI



MANAJEMEN TERNAK POTONG




OLEH :

AGIS CAHYONO. W
L1A1 11 025


  

JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2013



I.      PENDAHULUAN
Pada peternakan sapi, efisiensi reproduksi sangat penting artinya Karen berhubungan dengan keuntungan. Data mengenai penampilan reproduksi pada sapi telah banyak dilaporkan, namun, belum banyak laporan mengenai penampilan reproduksi sapi pada kondisi manajemen intensif. Studi yang menyeluruh pada penampilan reproduksi penting artinya dalam usaha meningkatkan efisiensi dan strategi pemeliharaan.
Sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi lokal Indonesia yang berasal dari Bali yang sekarang telah menyebar hamper ke seluruh penjuru Indonesia bahkan
sampai luar negeri seperti Malaysia, Filipina, dan Australia (Oka, 2010). Sapi Bali memiliki keunggulan dibandingkan dengan sapi lainnya antara lain mempunyai angka pertumbuhan yang cepat, adaptasi dengan lingkungan yang baik, dan penampilan reproduksi yang baik. Sapi Bali merupakan sapi yang paling banyak
dipelihara pada peternakan kecil karena fertilitasnya baik dan angka kematian yang rendah (Purwantara et al., 2012).
Penampilan produktivitas dan reproduktivitas sapi Bali sangat tinggi. Talib et al. (2003) melaporkan bahwa rata-rata berat hidup sapi Bali saat lahir, sapih , tahunan dan dewasa berturtut-turut 16,8; 82,9; 127,5; dan 303 kg. Sapi Bali dilaporkan sebagai sapi yang paling superior dalam hal fertilitas dan angka konsepsi (Toelihere, 2002). Darmaja  (1980) melaporkan bahwa angka fertilitas sapi Bali berkisar antara 83-86 %. Di Sulawesi Selatan, angka fertilitas sapi Bali adalah 82% (Wardoyo, 1950). Peternakan dengan sistem ekstensif seperti di Lombok menimbulkan penurunan penampilan reproduksi (Bamualim dan Wirdahayati, 2003). Fatah (1998) melaporkan bahwa sapi Bali yang dipelihara pada daerah kering di Timor memiliki angka fertilitasnya sampai 75%.
Populasi sapi potong pada tahun 2009 mencapai 12,6 juta ekor dari sebelumnya sebanyak 11, 8 juta ekor. Jumlah ini meningkat sekitar 4,4% per tahun, tetapi tetap belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi. Jumlah tersebut hanya mampu menyuplai 60% penyediaan daging sapi lokal yang mencapai 264 ribu ton dari total kebutuhan 322 ribu ton, 58,1 ribu ton diambil dari daging sapi bakalan impor. (Direktorat Jendral Peternakan, 2009).
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas sapi di dalam negeri. Berbagai macam bangsa sapi potong telah diimpor baik berupa ternak hidup maupun dalam bentuk semen beku untuk disilangkan dengan ternak local sehingga menghasilkan sapi-sapi silangan (Hartati, Maryono, dan Wijono, 2005; Aryogi, 2006).
Keberhasilan usaha perkembang biakan sangat terkait dengan performans reproduksi dan tingkat mortalitas induk dan anak. Faktor performans reproduksi yang penting antara lain adalah: (i) angka kebuntingan (CR), (ii) jarak beranak atau calving interval (CI), (iii) serviceper conception atau S/C, serta (iv)  jarak antara melahirkan sampai bunting kembali (DO).



II.   PEMBAHASAN
Penampilan Reproduksi Sapi Bali
Rata-rata umur sapi Bali mengalami berahi pertama dan melahirkan pertama kali, serta calving interval adalah berturut-turut 718,57 ± 12,65; 1104,61 ± 23,82; dan 350,46 ± 27,98 hari. Services perconception dengan inseminasi buatan adalah 1,65 ± 0,87 (Tabel 1).
Tabel 1. Penampilan Reproduksi Sapi Bali yang dipelihara di Pulukan
Performans reproduksi
Minimum
(hari)
Maksimum
(hari)
Rataan
(hari)
Std. Deviasi
(hari)
AFH
AFC
CI
Angka konsepsi kawin suntik
692,00
1046,00
313,00
1,00
741,00
1163,00
411,00
4,00
718,5714
1104,6154
350,4571
1,6571
12,64977
23,82087
27,98145
0,87255

Rata-rata umur sapi Bali mengalami berahi pertama adalah 718,57 ± 12,65. Hasil pengamatan umur sapi Bali yang mengalami berahi pertama lebih cepat bila dibandingkan dengan sapi local di Banglades. Pada sapi lokal Banglades umur pertama berahi adalah 1179 ± 2,6 hari (Al-Amin and Nahar, 2007). Perbedaan ini kemungkinan diakibatkan perbedaan bangsa sapi tersebut.
Rata-rata umur pertama melahirkan pada penelitian ini didapat bahwa 1104,51 ± 23.82 hari atau 36,8 bulan. Hasil penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan hasil yang dilaporkan oleh Gunawan et al. (2011) yaitu sebesar 43.86 ± 0.70 bulan. Hasil ini sesuai kisaran yang dilaporkan oleh Alberro (1983) yaitu 35,1 – 53 bulan pada sapi Bos indicus di daerah tropik. Umur pertama melahirkan pada sapi Bali lebih rendah jika dibandingkan dengan sapi Red Chitagong asal Bangladesh. Pada sapi Red Chitagong umur pertama melahirkan adalah 42 ± 1,8 bulan (Hasanuzzaman et al., 2012), sedangkan Habib et al. (2010) melaporkan bahwa pada sistem peternakan intensifumur pertama melahirkan adalah 40,93 ± 1,74 bulan. Umur pertama melahirkan pada sapi Bali sesuai juga dengan kisaran sapi Asia Tenggara seperti yang dilaporkan Shamsudin et al. (2006) yaitu bervariasi antara 33 - 40 bulan.
Rata-rata angka calving interval pada penelitian ini adalah sebesar 350,45 ± 27,98 hari. Hasil penelitian ini menunjukkan CI yang lebih rendah dibandingkan laporan Mohamad et al.(2005) yaitu sebesar 411 ± 64 hari dan Gunawan et al. (2011) sebesar 360,93. CIpada penelitian ini juga lebih rendah bila dibandingkan dengan CI sapi asli di daerah tropis. Kamal (2010) melaporkan bahwa rata-rata CI sapi yang hidup di daearah tropik berkisar antara 365-536 hari.
Sebanyak 35 ekor sapi yang dikawinkan secara inseminasi buatan menunjukkan angka konsepsi rata-rata 1,6. Mohamad et al. (2005) menyatakan bahwa angka konsepsi sapi Bali adalah 1,7. Angka konsepsi pada penelitian ini lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil yang dilaporkan Mohamad et al. (2005). Angka konsepsi pada penelitian ini juga lebih kecil bila dibandingkan dengan SPC pada sapi lokal Bangladesh. Pada sapi local Bangladesh SPC adalah 1,5 (Al-Amin dan Nahar, 2007). Hasil studi ini merefleksikan bahwa di pusat pembibitan Sapi Bali Pulukan telah terjadi perbaikan kualitas genetik sapi Bali serta didukung oleh manajemen pakan dan pemeliharaan yang baik.

Reproduksi Sapi Peranakan Ongole dan Peranakan Limousin
Service per Conception (S/C)
Sapi Peranakan Ongole memiliki angka S/C yang lebih rendah dibandingkan dengan sapi Peranakan Limousin. Astuti (2004) menyatakan semakin rendah nilai S/C maka semakin tinggi nilai fertilitasnya, sebaliknya semakin tinggi nilai S/C akan semakin rendah tingkat fertilitasnya. Dari hasil penelitian menunjukkan angka nilai S/C yang baik, karena menurut Affandi (2003) menyebutkan nilai S/C yang normal adalah 1,6 sampai 2,0.
Apabila S/C rendah, maka nilai kesuburan sapi betina semakin tinggi dan apabila nilai S/C tinggi, maka semakin rendah tingkat kesuburan sapi-sapi betina tersebut.



Tabel 1. Nilai Service per Conception (S/C) pada Sapi Peranakan Ongole dan Peranakan Limousin.
Jenis Sapi (n)
Nilai S/C
Peranakan Ongole (50)
Peranakan Limousin (50)
1,28
1,34

Days Open
Rata-rata CI sapi Peranakan Limousin lebih panjang bila dibandingkan dengan sapi Peranakan Ongole dan berdasarkan uji-t tidak berpasangan memperlihatkan perbedaan yang nyata (p<0,05). Nilai CI pada penelitian ini belum ideal, menurut pendapat Hadi dan Nyak Ilham (2004) bahwa jarak waktu beranak (CI) yang ideal adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui, hal ini ditambahkan oleh Ball and Peters (2004) bahwa efisiensi reproduksi dikatakan baik apabila seekor induk sapi dapat menghasilkan satu pedet dalam satu tahun.
Tabel 2 . Nilai Rata-rata dan Standar Deviasi DO
No
Jenis Sapi
x ± sd
1.
2.
Peranakan Ongole
Peranakan Limousin
130,27±20,99a
149,32±24,19b
Superskrip pada lajur yang berbeda menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Rata-rata DO sapi Peranakan Limousin lebih panjang bila dibandingkan dengan sapi Peranakan Ongole dan berdasarkan uji-t (lampiran 10) tidak berpasangan memperlihatkan perbedaan yang nyata (p<0,05). Rata-rata DO di Kecamatan Pagak cukup panjang, menurut Anderson, Burris, John dan Bullock (1994), jarak bunting kembali untuk meningkatkan efisiensi reproduksi harus 80-85 hari setelah beranak. DO sapi PO dan Peranakan Limousin dilokasi penelitian lebih rendah jika dibandingkan hasil penelitian Dwiyanto (2005) di Yogyakarta yaitu DO sapi PO 158 hari sedangkan pada sapi silangan besar DO 189 hari.

Calving interval (CI)
Rata-rata CI sapi Peranakan Limousin lebih panjang bila dibandingkan dengan sapi Peranakan Ongole dan berdasarkan uji-t tidak berpasangan memperlihatkan perbedaan yang nyata (p<0,05). Nilai CI pada penelitian ini belum ideal, menurut pendapat Hadi dan Nyak Ilham (2004) bahwa jarak waktu beranak (CI) yang ideal adalah 12bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui, hal ini ditambahkan oleh Ball and Peters (2004) bahwa efisiensi reproduksi dikatakan baik apabila seekor induk sapi dapat menghasilkan satu pedet dalam satu tahun.
Tabel 3. Nilai Rata-rata Calving Interval (CI)
No
Jenis Sapi
x ± sd
1.
2.
Peranakan Ongole
Peranakan Limousin
414,97±25,53a
433,67±24,39b
Superskrip pada lajur yang berbeda menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Conception Rate (CR)
Conception Rate sapi PO lebih baik bila dibandingkan sapi Peranakan Limousin. Phlilips (2001) menyatakan bahwa CR pada sapi yang dikawinkan dengan Inseminasi Buatan dapat mencapai 65%. Kemampuan sapi betina untuk bunting pada inseminasi pertama sangat dipengaruhi oleh variasi lingkungan.
Nutrisi pakan yang diterima oleh sapi sebelum dan sesudah beranak juga berpengaruh terhadap CR, sebab kekurangan nutrisi sebelum melahirkan dapat menyebabkan tertundanya siklus estrus (Bormann, Totir dan Kach-man 2006). Nilai CR sapi PO dan Peranakan Limousin di Kecamatan Pagak lebih rendah jika dibandingkan hasil penelitian Dwiyanto (2005) diYogyakarta yaitu CR sapi PO 80% sedangkan pada sapi silangan besar CR 68%.
Tabel 4. Nilai Conception Rate (CR)
No
Jenis Sapi
CR (%)
1.
2.
Peranakan Ongole
Peranakan Limousin
75,34
66




PENUTUP
Kesimpulan
Penampilan reproduksi sapi Bali yang dipelihara secara intensif di Pusat Pembibitan Sapi Bali Pulukan adalah umur sapi Bali mengalami berahi pertama 718,57 ± 12,65 hari, umur pertama melahirkan 1104,51 ± 23,82 hari, calving interval 350,46±27,98 hari, dan angka konsepsi sebesar 1,65 ± 0,87. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa perbaikan manajemen pemeliharaan dapat meningkatkan kualitas sapi Bali.
Terdapat perbedaan performans reproduksi sapi Peranakan Ongole dan sapi Peranakan Limousin. Sapi Peranakan Ongole mempunyai penampilan reproduksi yang ditunjukkan nilai Days Open (DO), Service per Conception (S/C), dan Calving Interval (CI) lebih baik bila dibandingkan sapi PO.



DAFTAR PUSTAKA
Affandhy, L.P. Situmorang, P.W. Prihandini, D.B. Wijono dan A. Rasyid. 2003. Performans Reproduksi Dan Pengelolaan Sapi Potong Induk Pada Kondisi Peternakan Rakyat. Pros. Seminar Inovasi Teknologi peternakan dan veteriner. Bogor, 29-30 September 2003. Puslitbang Peternakan.

Al-Amin and Nahar A. 2007. Productive and reproductive performance of non-descript (Local) and Crossbred Dairy Cows in Costal Area of Bangladesh.Asian J.Anim.Vet.Adv. 2(1):46-49.

Astuti, M. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya genetic Sapi Peranakan Ongole (PO). Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. http://peternakan. litbang. deptan. go.id/publikasi /wartazoa.

Bormann, J.M., L.R. Totir, S.D. Kachman, R.L. Fernando, and D.E.Wilson 2006. Pregnancy Rate andFirst-Service Conception Rate In Angus Heifers. J. Anim. Science. 84:2022-2025. Http://www.equinereproduction. com/articles/moni.htm

Darmadja SGND. 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional dalam Ekosistem Pertanian di Bali ( Desertasi ) Bandung : Program Pascasarjana. Universitas Pajajaran.

Direktorat Jendral Peternakan. 2009. Komoditas Daging Sapi Telah Terjaring Masuk Perangkap Pangan Impor. http:// ditjennak.go.id/ berita. asp? id=48

Habib MA, Bhuiyan AKFH, and Amin MR, 2010. Reproductive Performance Of Red Chittagong Cattle In A Nucleus Herd. Bang. J. Anim. Sci. 2010, 39 : 9 – 19.

Gunawan A, Sari R, Parwoto Y, and Uddin MJ. 2011. Non genetic factors effect on reproductive performance and preweaning mortality from artificially and naturally bred in Bali Cattle.

Kamal MM. 2010. A review on cattle reproduction in Bangladesh. Inter J.Dairy Sci. 5:245-252.

Toelihere M. 2002. Increasing the success rate and adoption of artificial insemination for genetic improvement of Bali cattle. Workshop on Strategies to ImproveBali Cattle in Eastern Indonesia. Udayana Eco Lodge Denpasar Bali 4–7 February 2002.



0 komentar:

Posting Komentar

Batman Begins - Diagonal Resize 2

iklan


animasi bergerak naruto dan onepiece