Ketika umat Islam sudah tak kenal lagi agamanya,
ketika ajaran Islam sudah tak diindahkan lagi, ketika Syariah Islam dicampakkan
di tempat sampah, kita butuh dakwah. Dakwah yang akan mengembalikan kesadaran
umat Islam akan pentingnya menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai petunjuk
hidup. Dakwah yang akan membuka mata dunia bahwa hanya pada Islam lah terdapat
kebahagiaan sejati dan keselamatan. Dakwah yang bertujuan untuk mengembalikan
kehidupan Islam seperti kehidupan pada masa Rasulullah SAW dan para Shahabat
Radhiyallahu ‘anhum.
Dakwah merupakan aktivitas yang teramat mulia, bahkan pekerjaan yang paling mulia. Aktivitas ini merupakan aktivitas utama para Nabi dan Rasul di setiap zaman, dan adakah manusia yang lebih baik daripada para Nabi dan Rasul?. Sebuah keniscayaan, setiap orang yang meneladani aktivitas para Nabi dan Rasul tersebut tentu juga akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah. Tapi, apakah setiap orang yang berdakwah akan mendapatkan kemuliaan seperti para Nabi dan Rasul? Apakah setiap orang yang menyandang status pengemban dakwah berarti mereka adalah orang yang mulia?
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada (agama) Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata sesungguhnya aku ini termasuk golongan orang-orang muslimin.” [QS. Fushshilat: 33].
Dakwah merupakan aktivitas yang teramat mulia, bahkan pekerjaan yang paling mulia. Aktivitas ini merupakan aktivitas utama para Nabi dan Rasul di setiap zaman, dan adakah manusia yang lebih baik daripada para Nabi dan Rasul?. Sebuah keniscayaan, setiap orang yang meneladani aktivitas para Nabi dan Rasul tersebut tentu juga akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah. Tapi, apakah setiap orang yang berdakwah akan mendapatkan kemuliaan seperti para Nabi dan Rasul? Apakah setiap orang yang menyandang status pengemban dakwah berarti mereka adalah orang yang mulia?
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada (agama) Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata sesungguhnya aku ini termasuk golongan orang-orang muslimin.” [QS. Fushshilat: 33].
Ayat di atas merupakan salah satu dalil yang
menunjukkan kemuliaan para pengemban dakwah. Betapa tidak, dengan sebuah
pertanyaan retoris, Allah menyatakan bahwa tidak ada perkataan yang lebih baik
dari pada kata-kata dakwah. Luar biasa. Berarti secara otomatis, setiap
pengemban dakwah adalah orang mulia yang melakukan pekerjaan besar dan terbaik
di sisi Allah. Iya kan ?.
Dalam kitab Riyadush Shalihin yang sangat terkenal
itu, terdapat hadits yang juga sangat dikenal dan dicantumkan di urutan pertama
kitab kumpulan Hadits tersebut. Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim
yang jalur sanadnya sampai pada Rasulullah melalui Umar bin Khattab, Amirul
Mu’minin, menyatakan bahwa setiap amal (tentu yang dimaksud adalah semua amal
yang baik) akan mendapatkan nilai di sisi Allah tergantung dari niat pelakunya.
Jika amal tersebut diniatkan untuk mengharapkan Ridha Allah, maka pelakunya
akan mendapatkan Ridha Allah dan surga-Nya di akhirat kelak. Tapi, jika amal
tersebut diniatkan karena selain Allah, maka jangan pernah berharap mampu
melihat wajah Allah di surga kelak. Amal yang dimaksud hadits ini bersifat
umum, termasuk amal dakwah.
Para pengemban dakwah pun juga terkena kewajiban untuk
ikhlas dalam amal dakwahnya. Tidak boleh berdakwah, kecuali dengan niat
mengharapkan Ridha Allah. Rasanya ini sudah sangat dipahami oleh semua da’i.
Setiap da’i tentu telah tahu bahwa dalam setiap amalnya dia harus ikhlas. Tapi,
begitu mudahkah sifat ikhlas tersebut mengikuti amal dakwah?.
Pernah terdengar satu kalimat yang diucapkan oleh
seorang yang menyandang status pengemban dakwah. Dan rasanya kalimat ini perlu
ditelaah kembali kebenarannya. Aktivitas dakwah ini ternyata memang
mengharuskan keikhlasan, bahkan kita susah untuk tidak ikhlas. Bahkan kita
susah untuk tidak ikhlas, inilah kalimat tersebut. Benarkah dalam aktivitas
dakwahnya, setiap pengemban dakwah susah untuk tidak ikhlas? Berarti mereka
telah menilai bahwa mereka adalah orang yang ikhlas?.
Entah seperti apa jalur periwayatan kalimat ini, yang jelas kalimat ini bukan cuma dikatakan oleh satu orang. Bahkan, kalimat ini seakan-akan merupakan sebuah slogan untuk membesarkan hati para pengemban dakwah, sebuah kalimat motivasi. Yang menjadi pertanyaan, apakah kalimat ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya?
Kalimat tersebut biasanya keluar dalam kondisi kelelahan dalam menjalankan aktivitas dakwah berjamaah. Kita sudah sangat paham, salah satu karakteristik dakwah berjamaah yang selama ini dipahami adalah bahwa tidak setiap pengemban dakwah harus bicara di depan umum. Berdakwah bisa dengan menjadi panitia sebuah seminar dakwah, misalnya seksi konsumsi, yang tak ada hubungannya dengan cuap-cuap di hadapan orang banyak. Biasanya juga, orang-orang yang menjadi panitia kegiatan tersebut, apalagi yang hanya menjadi anggota seksi, adalah orang yang termarjinalkan. Tidak seperti sang pembicara seminar yang mendapatkan tepuk tangan meriah plus amplop tipis, atau ketua panitia yang mendapat pujian selangit jika acara seminar berlangsung sukses, anggota seksi tak pernah mendapatkan keberuntungan tersebut. Paling baik, mendapatkan ucapan terima kasih dan terhindar dari kemarahan ketua panitia. Dalam kondisi seperti itu, mencuatlah kalimat tersebut sebagai motivasi agar tidak futur.
Entah seperti apa jalur periwayatan kalimat ini, yang jelas kalimat ini bukan cuma dikatakan oleh satu orang. Bahkan, kalimat ini seakan-akan merupakan sebuah slogan untuk membesarkan hati para pengemban dakwah, sebuah kalimat motivasi. Yang menjadi pertanyaan, apakah kalimat ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya?
Kalimat tersebut biasanya keluar dalam kondisi kelelahan dalam menjalankan aktivitas dakwah berjamaah. Kita sudah sangat paham, salah satu karakteristik dakwah berjamaah yang selama ini dipahami adalah bahwa tidak setiap pengemban dakwah harus bicara di depan umum. Berdakwah bisa dengan menjadi panitia sebuah seminar dakwah, misalnya seksi konsumsi, yang tak ada hubungannya dengan cuap-cuap di hadapan orang banyak. Biasanya juga, orang-orang yang menjadi panitia kegiatan tersebut, apalagi yang hanya menjadi anggota seksi, adalah orang yang termarjinalkan. Tidak seperti sang pembicara seminar yang mendapatkan tepuk tangan meriah plus amplop tipis, atau ketua panitia yang mendapat pujian selangit jika acara seminar berlangsung sukses, anggota seksi tak pernah mendapatkan keberuntungan tersebut. Paling baik, mendapatkan ucapan terima kasih dan terhindar dari kemarahan ketua panitia. Dalam kondisi seperti itu, mencuatlah kalimat tersebut sebagai motivasi agar tidak futur.
Kondisi lain misalnya adalah ketika seorang ketua umum
lembaga dakwah, ketika menyiapkan sebuah kegiatan dakwah yang cukup besar
ternyata tak mendapatkan dukungan dari yang lain. Dari menjadi ketua panitia,
memimpin rapat, menjadi seksi konsumsi sampai menjadi mc harus dilakukan oleh
dirinya sendiri. Akhirnya untuk menghibur diri, keluarlah kalimat tersebut dari
lisannya. Pertanyaannya sekarang, dalam kondisi seperti itu, apakah ucapan
tersebut benar-benar menunjukkan keikhlasannya atau sekedar untuk menutupi
kekecewaan dirinya karena tak mendapatkan penghargaan yang semestinya?.
Jawabannya memang tidak bisa kita tentukan, itu
kembali ke masing-masing orang. Apalagi keikhlasan adalah urusan hati yang
tidak bisa dilihat secara kasat mata. Tapi, bahwa kalimat seperti itu benar
seratus persen, sepertinya juga perlu dikoreksi. Keikhlasan tidak bisa hanya
diukur dari kepasrahan (kesabaran?) seseorang ketika dalam menjalankan
aktivitas dakwahnya ia tidak mendapatkan penghargaan seperti orang lain. Banyak
sekali alasan yang bisa diajukan yang mungkin menjadi penyebab kepasrahan orang
tersebut selain keikhlasan. Ada orang yang terpaksa menerima begitu saja
keadaan dirinya karena khawatir kalau ia memberontak atau menunjukkan ketidak
senangan ia akan dikucilkan dari komunitasnya, yaitu komunitas pengemban
dakwah. Perlu diketahui, sangat banyak orang yang lebih takut dikucilkan dari
sebuah komunitas yang ia eksis didalamnya daripada takut kehilangan harta.
Dengan alasan takut dikucilkan, ia kemudian menunjukkan sikap pasrah yang
kemudian dikatakan sebagai sikap ikhlas.
Sekarang, kita tilik secara umum, benarkah para
pengemban dakwah sangat susah dihinggapi ketidak ikhlasan atau malah
sebaliknya. Satu contoh, ada satu orang aktivis dakwah yang menjadi trainer
terkenal. Setiap mengisi training ia selalu mampu menghipnotis ratusan peserta
untuk menerima apa saja yang ia katakan. Imbalannya, ia mendapatkan sanjung
puji dari banyak pihak. Banyak tokoh yang merekomendasikannya. Dengan kondisi
seperti ini, kucuran uang juga tak terhindarkan. Pada kasus seperti ini, apakah
tepat kalimat susah untuk tidak ikhlas. Dikelilingi oleh berbagai faktor yang
mudah memalingkan seseorang dari keikhlasan seperti uang, sanjung puji, dan
dikenal banyak orang bak selebritis apakah masih tepat kalimat bahwa pengemban
dakwah susah untuk tidak ikhlas.
Dengan status sebagai trainer terkenal, kadang-kadang
sang trainer tidak bersedia menjadi trainer untuk training kecil yang
pesertanya mungkin masih bisa dihitung dengan jari, dengan alasan memberi
kesempatan kepada yang lain. Kecurigaan wajar muncul di pikiran kita,
jangan-jangan dia telah bersikap seperti artis top yang tak mau berperan di
peran-peran kecil atau berperan di film kurang bermutu. Mungkin dengan alasan
sama, agar status kehebatannya tak tercemar dengan menjadi trainer di kegiatan
training level rendah.
Itu satu contoh. Bagaimana dengan kebanggaan seseorang
memakai status kiyai haji, ustadz, motivator, ustadz gaul, dll. Apakah
pengakuan orang tentang status mereka yang ingin didapatkan atau keridhaan
Allah SWT. Bagaimana pula dengan orang yang menghidupi dirinya dengan aktivitas
dakwah. Menjadi trainer di acara training A mendapatkan bayaran 1 juta, lima
kali mengisi training dalam sebulan sudah lima juta yang didapatkan, lebih
besar daripada gaji guru. Jadi imam tarawih, sekali dapat 100 ribu, bagaimana
jika setiap malam dia menjadi imam tarawih, berapa fulus yang didapatkan. Belum
lagi ditambah mengisi pengajian setelah shubuh dan pengajian-pengajian lainnya.
Apakah dengan kondisi itu, pengemban dakwah masih susah untuk tidak ikhlas?.
Ya, harus kita akui, ternyata menjadi pengemban dakwah
sangat rentan dengan ketidak ikhlasan. Perubahan niat mudah sekali terjadi
dengan banyaknya godaan duniawi di sekitar pengemban dakwah. Maka,
mudah-mudahan kita bisa menjadi pengemban dakwah yang selalu ikhlas dalam setiap
aktivitas kita dan benar-benar layak menjadi pewaris Nabi SAW.
0 komentar:
Posting Komentar